Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
SEJUMLAH kementerian menyatakan tidak dilibatkan dalam penyusunan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Tak pelak, kebijakan yang diprakarsai oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin ini, telah menuai polemik dan sorotan dari berbagai stakeholder lain, menyusul ancaman yang signifikan terhadap keberlangsungan ekonomi nasional.
Kementerian yang tidak terlibat dalam perumusan aturan ini termasuk Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) juga menyoroti proses yang dianggap tergesa-gesa meskipun ada banyak masukan yang belum diakomodir.
Baca juga : Cukai Rokok Diusulkan Naik 25% Per Tahun
Teranyar, Direktur Jenderal Bea Cukai, Askolani, juga mengungkapkan pandangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait kebijakan kemasan rokok polos yang diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Kesehatan.
Askolani menyampaikan, pihaknya telah memberikan masukan kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengenai potensi risiko yang muncul dari penerapan kebijakan tersebut. Menurut dia, penerapan kemasan rokok polos tanpa merek dapat menimbulkan masalah dalam hal pengawasan, terutama terkait upaya membedakan jenis rokok yang beragam.
"Jika semua rokok dikemas secara polos, akan sulit bagi kami untuk membedakan golongan dan jenis rokok hanya dari kemasan luarnya," ujarnya saat konferensi pers APBN Kita Edisi September 2024.
Baca juga : DPR Kritisi Kebijakan Kemasan Polos Tanpa Merek untuk Produk Tembakau
Hal ini, menurutnya, dapat menghambat pengawasan yang selama ini dilakukan berdasarkan perbedaan kasat mata pada kemasan. Akibatnya, ancaman rokok ilegal di masyarakat akan meningkat, di mana selama ini Bea Cukai telah berupaya keras dalam menekan peredaran rokok ilegal.
Lebih lanjut, Askolani menjelaskan bahwa pembeda visual pada kemasan menjadi langkah proteksi awal bagi Ditjen Bea Cukai dalam memantau industri hasil tembakau. Jika kemasan rokok dibuat seragam tanpa ciri khas yang jelas, risiko pengawasan dapat meningkat.
"Kita tidak bisa lagi membedakan kemasan secara kasat mata, padahal itu adalah bagian penting dari perlindungan dan pengawasan kami," tambahnya.
Baca juga : Asosiasi Petani Tembakau Merasa Tidak Dilibatkan dalam Penyusunan PP 28/2024
Meskipun demikian, ia memastikan bahwa Kemenkeu telah memberikan sejumlah masukan kepada Kemenkes terkait dampak kebijakan ini, termasuk risiko yang dihadapi dalam pengawasan produk rokok di pasaran. "Kami sudah memberikan pandangan kepada Kemenkes mengenai risiko yang mungkin timbul dari penerapan kebijakan ini," pungkasnya.
Terakhir, Askolani menyampaikan bahwa kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek merupakan bagian dari upaya pengendalian konsumsi rokok di Indonesia. Namun aspek pengawasan dan perlindungan hukum menjadi perhatian utama bagi Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan. Sehingga produk kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek perlu ditinjau kembali demi mengukur seberapa efektif aturan ini.
Kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek menimbulkan kecemasan baru di tengah ancaman badai pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 2025 seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum lama ini.
Tidak main-main, Jokowi menyebut pada tahun depan, 85 juta jiwa akan terancam kehilangan pekerjaan. Padahal, Indonesia tengah menyambut bonus demografi 2030, di mana seharusnya tersedia lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya.
"Kita tahu 96 negara sudah menjadi pasiennya IMF, ini sebuah angka yang menurut saya sangat mengerikan. Oleh sebab itu, kita harus fokus dalam bekerja mengelola ekonomi kita," tuturnya. (H-2)
DPR mengkritik program golden visa yang memiliki keistimewaan mendapat hak atas tanah atau lahan bagi warga negara asing (WNA). Kebijakan itu dibandingkan dengan pelarangan jual rokok eceran.
Cukai yang dikenakan dengan tinggi atau bahkan sangat tinggi apabila memungkinan
Kenaikan biaya cukai rokok yang kerap kali dilakukan pemerintah dinilai tidak akan efektif apabila rokok masih bisa diperjualbelikan secara eceran.
Kenaikan pajak dan cukai rokok dinilai bisa mencekik pengusaha tembakau kecil di Indonesia.
Di satu sisi digugat oleh aktivis kesehatan dan setiap tahun selalu ada gerakan masyarakat antirokok. Di sisi lain, cukai rokok menjadi salah satu sumber pendapatan negara.
Tulus mengatakan kenaikan cukai rokok adalah instrumen melindungi masyarakat sebagai perokok aktif dan atau perokok pasif.
Menkes Budi Gunadi Sadikin mengaku tengah berdiskusi dengan para pelaku usaha terkait penerapan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek.
Direktur P2PTM Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyatakan pihaknya menghormati perbedaan pendapat terkait pengendalian produk tembakau.
HKTI menyatakan sikap tegas menolak kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).
KEMENKES mengatur kemasan rokok polos tanpa merek, zonasi larangan penjualan rokok hingga larangan iklan di media luar ruang.
Kemenkes akan melibatkan buruh dalam menyusun RPMK, khususnya terkait kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved