Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
PERBINCANGAN tentang penyematan gelar haji pada seseorang yang telah menunaikan ibadah ke tanah suci Mekkah ramai di media sosial. Hal ini dimulai dengan munculnya informasi tentang seorang artis yang disebut telah menunaikan ibadah haji sejak usia dua bulan. Berbagai tanggapan dan komentar pun muncul dengan penyematan gelar haji pada sang artis tersebut.
Hal ini menarik, sebab penggunaan gelar haji ternyata hanya berlaku di beberapa negara kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia. Berikut sejarah tentang penyematan gelar haji di Indonesia yang dikupas oleh Dosen Ilmu Sejarah pada Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair) Moordiati, S.S., M.Hum.
“Jadi, penyematan gelar haji ini memang memiliki makna dan sejarah tersendiri ya. Selain itu, penyematan gelar haji hanya ada di Indonesia dan Malaysia,” kata Moordiati seperti dikutip dari situs resmi UNAIR, Selasa (9/7).
Baca juga : Pansus Haji DPR RI Segera Bergerak
Sejarah Gelar Haji
Moordiati menerangkan pada zaman dulu masyarakat dari Nusantara yang melaksanakan ibadah haji tidak memerlukan izin dari pihak mana pun. Pelaksanaan haji pada masa itu lazimnya menggunakan transportasi kapal laut. Hal ini membuat seseorang yang hendak menunaikan salah satu rukun islam itu memiliki risiko besar dan modal yang tidak sedikit.
“Dulu kebanyakan orang dari Pulau Aceh yang bisa berangkat ibadah haji. Orang Jawa masih sedikit karena keterbatasan modal,” ucapnya.
Baca juga : PKS Dorong Masalah Haji Diinvestigasi secara Serius
Meskipun memiliki risiko besar, jemaah haji Nusantara memiliki ikatan kuat dengan ulama dan masyarakat Timur Tengah yang dilatarbelakangi oleh sejarah kedua bangsa. Ikatan tersebut membuat pemerintah kolonial mengkhawatirkan posisi dan kedudukannya di Nusantara. Pasalnya, para jemaah haji yang kembali dari Timur Tengah membawa semangat pergerakan dan kemerdekaan.
“Atas dasar kekhawatiran itu, pemerintah memutuskan untuk membuat peraturan tentang izin melaksanakan ibadah haji dan penyematan gelar haji untuk mewaspadai orang Nusantara yang sudah melaksanakan ibadah haji,” ungkap Moordiati.
Dengan demikian, pemerintah kolonial mengharuskan orang yang kembali dari Mekkah menyematkan gelar haji sebagai penanda. Melalui peraturan itu, masyarakat Nusantara yang tidak mengikuti prosedur dari pemerintah kolonial akan diberikan denda.
Baca juga : Pansus Haji DPR RI Disebut akan Layu Sebelum Berkembang
Ibadah Haji Era Sekarang
Ibadah haji di era saat ini telah mengalami pergeseran makna dengan zaman pemerintah kolonial. Tidak ada kewajiban seperti zaman dulu untuk menyematkan gelar haji pada seseorang ketika orang itu sudah melaksanakan ibadah di Tanah Suci.
“Saat ini, tidak ada peraturan khusus tentang penyematan gelar haji. Namun karena sudah menjadi budaya, masyarakat tetap menyematkan gelar haji pada seseorang yang sudah melaksanakan ibadah tersebut,” tutur Moordiati.
Moordiati berpesan, penyematan gelar haji memang sudah lazim pada masyarakat Indonesia Namun, ia mengingatkan hal itu perlu disikapi dengan bijaksana.
“Tidak perlu memaksakan kehendak atau berlebihan dalam menuntut seseorang untuk memanggil dengan gelar haji,” pungkas Moordiati.(M-3)
PENELITI senior BRIN Lili Romli menyayangkan pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon tentang tidak adanya bukti yang kuat terjadinya pemerkosaan massal pada Mei 1998.
Menurutnya, pengingkaran terhadap peristiwa tersebut adalah bentuk penghapusan jejak sejarah Indonesia.
Proyek penyusunan ulang sejarah Indonesia ini sangat problematik dan potensial digunakan oleh rezim penguasa untuk merekayasa dan membelokkan sejarah sesuai dengan kepentingan rezim.
Pegiat HAMĀ Perempuan Yuniyanti Chizaifah menegaskan pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam tragedi Mei 1998
Djarot mengatakan penulisan sejarah seharusnya berdasarkan fakta, bukan berdasarkan kepentingan politik. Maka dari itu, ia mengingatkan agar sejarah tidak dimanipulasi.
KETUA DPR RI Puan Maharani menanggapi rencana Kementerian Kebudayaan untuk menjalankan proyek penulisan ulang sejarah.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved