Nuraeni HG dan Pelukan Terakhirnya untuk Hendra Gunawan

Yudha Bantono
02/8/2023 10:05
Nuraeni HG dan Pelukan Terakhirnya untuk Hendra Gunawan
Nuraeni HG.(DOK IST)

PENULIS seni Yudha Bantono memprediksi pameran Nuraeni HG dan Hendra Gunawan di Bali pada 11 Agustus hingga 3 November mendatang akan sangat menarik. Pasalnya, kata Yudha, itu berkaitan dengan kenangan masa lalu di Bali. Kenangan itu bagi Nuraeni selalu hadir begitu menyebut atau mengunjungi Pulau Bali. 

Dua pelukis Indonesia itu seperti diketahui bagai mengarungi bahtera baru yang ke dua pasca kebebasan sebagai tahanan politik dan harus mendekam di Rumah Tahanan Kebon Waru Bandung. 

"Saat itu, tidaklah mudah untuk tetap mempertahankan prinsip dan idealismenya, sementara stigma "eks tapol" masih melekat dalam bayang-bayang kekuasaan Rezim Orde Baru. Dan sesungguhnya bukan sebuah pelarian dari minatnya pada Pulau Bali yang muncul secara terencana, memindahkan studio, sekaligus tinggal bolak-balik antara Bandung dan Bali," tutur Yudha dalam keterangannya, Rabu (2/8).

Ketika memutuskan untuk tinggal di Bali, muncul keinginan mereka untuk menjajaki apakah dengan meninggalkan Bandung akan mendapatkan kebebasan sepenuhnya. Kebebasan dalam arti suasana dan dukungan produktivitas dalam berkarya. Di samping itu, Bali diakuinya sebagai surga tropis yang terkenal dengan bentang alamnya yang memukau, budaya yang semarak, dan keramahtamahan masyarakatnya yang hangat, serta telah lama menjadi magnet bagi seniman dan pekerja kreatif dari seluruh dunia. 

Kedatangan Nuraeni dan Hendra di Bali seolah memang langsung menemukan pusaran "taksu", yakni kekuatan daya pikat yang memiliki ruh magis maupun spiritual. Mereka seketika bagai tersedot dan hanyut dalam pusaran itu. Perjumpaannya dengan masyarakat Bali, kegiatan adat, upacara, serta kisah-kisah dari dongeng hingga mitos mistis yang bertebaran dalam tradisi lisan masyarakat, tak luput semakin membawa mereka pada penemuan barunya yaitu ekspresi kreatif. 

Bukan itu saja, Hendra dan Nuraeni yang memiliki pengalaman kreatif bagaimana menggambarkan kehidupan budaya nusantara, semakin rebah menikmati Bali. Hampir dipastikan setiap hari mereka menyaksikan perpaduan unik antara budaya Hindu-Bali secara keseluruhan. Dalam benak mereka, Bali telah menciptakan lingkungan yang mendukung, dan memelihara kerja kreatifnya.

Bila kembali ke belakang, sejak sebelum maupun tinggal di dalam Penjara Kebon Waru Bandung sebagai tahanan politik, Hendra memang seorang seniman yang tidak hanya menangkap lansekap tanah Jawa dan budaya, serta sosial pada masanya, tetapi juga berfungsi sebagai aktivis pergerakan yang memperjuangkan isu-isu sosial maupun politik. 

Demikian halnya Nuraeni yang merupakan aktivis pergerakan yang menjadi bagian penting dalam diri Hendra, baik sebagai murid dan istri keduanya. Nuraeni memiliki pandangan dan idealisme yang sama. Kenangan visual masa lalu yang terekam pada ruang imajiner disadari telah berhasil menghidupkan tema-tema sosial karyanya. Ketika hidup di dalam penjara, kedua seniman ini mampu melewati masa-masa tersulit, serta semakin diperkaya oleh hasrat untuk terus menghasilkan karya-karya yang istimewa.
 
Lima tahun bukanlah waktu yang pendek, Nuraeni menjelajahi ruang-ruang imajiner, berkarya disamping Hendra, belajar sambil mempraktekkan ilmu yang ia dapatkan, maupun sebagai asisten pribadinya. Kedekatan dengan Hendra terlepas dari pelajaran melukis, secara ideologis juga telah memainkan peran utama dalam kelahiran karya-karyanya.
 
Setelah satu tahun menunggu kebebasan Hendra, pada pertengahan tahun 1979 akhirnya mereka berangkat ke Bali. Dengan mencarter satu kendaraan travel yang dipesannya dari Bali, Hendra, Nuraeni, putra semata wayangnya Dadang Hendra, dan dua orang yang membantunya menyiapkan bahan melukis juga turut bersamanya. Setibanya di Bali, Nuraeni dan Hendra tinggal menyewa rumah di pusat daerah Ubud. Di rumah itu mereka jadikan studio melukis dan tempat tinggal. Selanjutnya hari-hari Nuraeni dan Hendra diisi dengan berkarya sambil membesarkan putranya.

"Karya-karya Nuraeni dan Hendra mengenai Bali bisa dianggap sebagai pembaharuan sekaligus catatan perjalanan hidup yang memperkaya jati dirinya. Selama tinggal di Bali, Nuraeni dan Hendra sadar bahwa mereka tetap tidak goyah dari pemikiran-pemikiran sosial sebagai kaca mata melihat berbagai persoalan-persoalan yang ia temui. Menariknya, disamping keindahan Bali yang ia rekam dan tuangkan dalam karya-karya lukisnya, figur-figur yang menggambarkan masyarakat terpinggirkan tetap saja hadir dalam karya-karyanya," kata Yudha.
 
Nelayan Pantai Kusamba, suasana Pasar Ubud, alam Kintamani, panorama Pantai Sanur dengan nelayan dan jukungnya, upacara-upacara adat, kegiatan tradisi dan budaya serta yang lainnya, kesemuanya membangkitkan rasa dan pesona untuk diabadikan dalam beragam tema-tema lukisan. Citraan budaya dalam kehidupan seni, warna-warna gelap dan cerah yang sangat kontras maupun berani, sarana upacara maupun pakaian tradisional tak luput menjadi tangkapan visual menarik yang semakin memperindah lukisan-lukisannya.

Kontribusi

Salah satu kontribusi penting Nuraeni untuk Hendra selama di Bali yakni bersama-sama turut mempersiapkan pameran tunggal suaminya di Taman Budaya Bali Denpasar. Hendra sepertinya memang ingin menandai dan memaknai tinggal di Bali bukan hanya sekedar berkarya, namun ia juga ingin memamerkan capaian karyanya kepada masyarakat Bali.

Upaya ini tentunya sangat didukung Nuraeni. Dengan menyewa studio yang lebih besar di Desa Batuan Sukawati, Hendra lebih leluasa bisa menggarap karya-karyanya dalam ukuran besar. Nuraeni terus menyemangati dan membantu segala keperluan Hendra, sementara di lain sisi lain ia harus menjalin hubungan dengan kolektor dan galeri dalam memasarkan karya Hendra, baik di Bali maupun di luar Bali.

"Maka, bila Bali dijadikan parameter pada periode tertentu kekaryaan Hendra tentu sangat banyak memberikan pengaruh yang signifikan. Pengaruh yang jelas menurut Nuraeni adalah pada gaya artistik, warna-warna yang cerah dan berani, gambaran suasana mistis dan romantisme Bali, maupun tema di luar Bali seperti peperangan melawan penjajah kolonial juga tetap dikerjakan dengan paduan warna kuat yang membuat terlihat semakin membara," kata Yudha.

Bagi Nuraeni sendiri, dalam memaknai karya-karyanya yang dihasilkan di Bali atau setelahnya memang sebagai pengikat peristiwa maupun pengembangan baru. Pengalaman mengolah kekuatan visual bersama Hendra selama tinggal di Bali tanpa ia sadari telah mempertajam daya imajinasinya dari liar menjadi tertata. Masa lalu memang menjadi begitu sangat penting sebagai pembangun ruang kesadaran maupun kesadaran ruang bagi Nuraeni. 

Sejak mula, ketika keputusan untuk memindahkan studio suaminya Hendra ke Bali, Nuraeni seperti akan mendapatkan pengalaman baru yang lain. Pengalaman itu ia pandang sebagai hadiah setelah keluar dari Penjara Kebon Waru Bandung. Pulau Bali kala itu memang dianggabnya sangat jauh dari rumahnya di Bandung, namun yang lebih penting adalah selalu bisa bersama dalam menjaga dan berbakti pada suaminya dimanapun berada.

Kian terampil

Nuraeni semakin terampil memasukkan tangkapan unsur-unsur visual tentang Bali ke dalam karya-karyanya sendiri, menciptakan karya demi karya yang menawan yang mencerminkan suasana hatinya dan kehidupan tradisi Bali yang kaya. Selain itu, perhatian Nuraeni terhadap detail dan sapuan kuas yang teliti mencerminkan ketepatan yang ditemukan dalam menikmati dan merasakan suasana Bali bersama suaminya, saling mendukung dalam memperkaya ruang kreasi.

Nuraeni sampai saat ini melalui lukisannya memang masih terpengaruh kuat akan masa lalunya. Tetap membahas masalah sosial, pelestarian budaya, dan dampak modernisasi terhadap cara hidup tradisional. Kehadiran Nuraeni dalam pameran bersama “The Land of Art” di Kempinski Hotel Nusa Dua Bali, menjadikan ajang bagi dirinya untuk kembali pulang menengok kesadaran seninya.

Melalui karya-karya yang ia hadirkan, baik melalui karya terbarunya maupun lampau, baginya keduanya sama-sama memiliki pertalian yang kuat. Kesemua itu menurut Nuraeni hanyalah persoalan dalam memahami masa kreatifnya, terutama terhadap karya yang ia hasilkan saat ini yang dipandang memiliki keterkaitan akan masa lalunya. Karena kerinduan berkeseniannya di Pulau Bali memang membuatnya tak pernah merasa tertinggal oleh hakikat waktu.

Maka bagaimanapun pada karya-karya Nuraeni dan Hendra di pameran The Land of Art, terlihat seperti menemukan suasana yang lebih dari sekadar pameran lukisan mereka, namun terciptanya suasana kegembiraan, suasana cinta yang tidak mengenal batas-batasnya, dan suasana keindahan yang menakjubkan, buah hasil ketabahan mendampingi dan menjaga suaminya, sampai akhir hayat di pangkuannya.

Pelukan terakhir Nuraeni pada Hendra di Rumah Sakit Sanglah Denpasar seakan meneguhkan kekuatan cinta mereka yang tidak pernah padam. Cinta tak tertandingkan untuk suami dan nama besar yang disandangnya. Terlepas dari masa lalu yang suram, Nuraeni sampai saat ini pun tetap berusaha dengan keras untuk menjaga dan melindungi harkat, martabat maupun marwah Hendra. 

Seperti yang dikatakan Maulana Jalaludin Rumi, “Perpisahan hanyalah bagi yang mencintai dengan kedua matanya. Sedangkan dia yang mencintai dengan jiwa dan hatinya tidak ada kata perpisahan.” Jiwa dan hati Nuraeni tidak terbatas pada ruang dan waktu. Cintanya juga bukan hanya memberikan harapan besar kepada mendiang suaminya, tetapi juga bertindak sebagai cahaya penuntun, mengingatkan dirinya bahwa ada sesuatu yang diamanahkan, menjaga nama besar dan karya-karya sang maestro Hendra adalah janji suci, dunia maupun akherat. (Z-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Budi Ernanto
Berita Lainnya