Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
PERUBAHAN kebiasaan manusia era modern dalam cara berkomunikasi berpengaruh terhadap pembentukan persepsi masyarakat. Saat ini, persepsi terhadap kebenaran bukan tergantung dari seberapa terujinya suatu substansi, namun lebih kepada bias personal dan popularitas semata. Apalagi menyangkut informasi berjubah agama, yang bisa membuat seseorang bisa teradikalisasi.
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, menjelaskan bahwa dalam mencari dan mencerna suatu informasi, perilaku manusia zaman modern cenderung mengambil informasi yang ia butuhkan hanya dari sumber yang membenarkan apa yang telah ia yakini. Dalam dunia psikologi bias kognitif ini sering disebut dengan motivated reasoning atau confirmation bias.
"Ketika kita mencari informasi, kita cenderung sudah punya pemahaman, cara pandang, atau stigma tertentu, lalu kita mencari informasi untuk membenarkan pemahaman atau cara pandang kita tadi. Hal ini terjadi bahkan sebelum adanya media sosial. Dengan adanya media sosial, kecenderungan terjadinya bias kognitif itu menjadi lebih kuat lagi," terang Noor Huda dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (1/8).
Dia menjelaskan pula bahwa keadaan seperti ini diperparah dengan munculnya algoritma dalam layanan mesin pencarian atau search engine seperti Google atau Bing. Sebagai contoh, penggemar klub bola Arsenal, maka kalau nge-klik Arsenal, seluruh informasinya itu yang berkaitan dengan klub Arsenal saja. Klub bola lain seperti Manchester United jelas tidak akan muncul.
"Dalam cara memahami ajaran agama tertentu, kalau kita sudah meng-klik, misalnya al-wala wal bara', istilah, atau acara tertentu yang didorong oleh kelompok pro kekerasan, cenderung kita akan hanya menerima informasi yang sama. Di dunia akademis biasanya ini disebut dengan filter bubble. Kita membuat bubble atau ruang kita sendiri berdasarkan dari filter atau pencarian yang kita lakukan. Inilah fenomena saat ini yang mengakibatkan polarisasi, yang berhaluan kanan jadi kanan banget, yang kiri jadi kiri banget, haluan tengah menjadi kosong," imbuh Noor Huda.
Peraih gelar doktor dari Monash University ini pun menegaskan pentingnya mencari sumber informasi pembanding dari apa yang sudah diyakini. Kita perlu mengadopsi tradisi berpikir kritis, untuk bisa membedakan bahwa apa yang di internet belum tentu semuanya benar. Kemampuan kita membandingkan suatu informasi dengan hal yang sama, namun dari sumber dan perspektif yang berbeda menjadi penting.
Baca juga: Majelis Dikdasmen dan PNF Pimpinan Pusat Muhammadiyah Gelar Rakernas
Menurutnya, tren medium yang digunakan serta kecenderungan cara berkomunikasi masyarakat dunia memang telah berubah. Sekarang itu percakapan baru ada tiap detiknya, dan komunikasi serbacepat saat ini dianggap sebagai sebuah kebenaran. Saat ini masyarakat di seluruh dunia cenderung tidak melihat mana yang benar, tapi justru mana yang viral.
"Kalau nggak viral ya dia tidak diperhatikan, tapi yang follower-nya banyak justru diperhatikan. Ini adalah jenis kebenaran baru, maka dalam dunia akademisi fenomena ini disebut sebagai 'the death of expert,' kematian para pakar. Sebagai contoh, gue yang bisa mendapatkan beasiswa ke luar negeri, kredibilitasnya bisa kalah oleh selebgram seperti Atta Halilintar di mata masyarakat saat ini," terang Noor Huda.
Akademisi yang juga aktif sebagai pengamat isu terorisme ini juga menyoroti pentingnya belajar teknologi sebagai suatu kenyataan yang tak terelakkan. Ini berlaku mulai dari masyarakat lapisan terbawah, hingga para pejabat yang memegang kendali. Ketika di suatu negara para pemangku kepentingannya tidak memahami perkembangan teknologi, tentu akan berdampak buruk terhadap kebijakan atau keputusan yang diambil.
"Keharusan memahami perkembangan teknologi adalah pekerjaan rumah bagi semuanya. Teknologi ini kan semuanya harus belajar," tuturnya.
Jika tidak, kata Noor Huda, pasti akan ketinggalan jaman. Contohnya saja ketika CEO TikTok dipanggil oleh Kongres Amerika Serikat untuk melakukan hearing (sesi tanya jawab) di muka publik. Anggota parlemen Amerika Serikat dikira sebagai sekumpulan orang dengan intelektual di atas rata-rata, justru melempar pertanyaan-pertanyaan yang bodoh terkait teknologi informasi.
"Ini akibatnya jika pemangku kepentingan tidak tanggap terhadap perkembangan teknologi," tegas Noor Huda.
Untuk itu, Noor Huda pun berpesan agar masyarakat jangan percaya pada satu guru atau sumber saja tapi harus bisa dan mau melihat dari berbagai macam sumber. Masyarakat juga harus menggunakan akal sehat untuk bisa memilih dan memilah informasi. Kemudian dalam membagikan informasi, prinsipnya think before you share atau saring sebelum sharing.
"Saya pikir ini skill yang penting, karena apa yang kita lihat di media sosial itu belum tentu kebenaran. Seberapa terlihat viral atau penting suatu informasi itu sebenarnya bisa diciptakan atau direkayasa selama ada dananya," pungkasnya. (RO/I-2)
LANGDON Winner adalah guru besar ilmu politik yang mengajar di sebuah universitas swasta bergengsi di Negara Bagian New York, Amerika Serikat.
Kapolri meminta peristiwa-peristiwa yang terjadi di Pilkada terdahulu bisa menjadi pembelajaran. Terutama terkait reaksi atas ketidakpuasan hasil Pilkada.
Polarisasi yang mengiringi proses pemilihan tidak hanya menjadi problem politik saja, tetapi juga masalah mendasar bagi keutuhan nilai-nilai berbangsa.
Secara ekonomis jika ingin menghemat anggaran maka idealnya pilkada digelar cukup satu putaran.
WAKIL Menteri Agama (Wamenag) Romo Muhamad Syafi'i menilai wajar jika terjadi polarisasi usai Pemilu 2024
Sebagian UMKM yang dipimpin perempuan masih menghadapi sejumlah tantangan. Peningkatan literasi digital dan finansial berperan penting untuk membantu mereka.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kawiyan menekankan pentingnya peran orang tua dalam mengawasi dan membina anak agar aman saat mengakses ruang digital.
Kurangnya literasi digital, dukungan struktural yang kurang memadai, serta terbatasnya akses kredit jadi tantangan para pelaku usaha kecil dan menengah di Indonesia.
Gerakan Smartfren 100 persen untuk Indonesia, merangkum berbagai upaya Smartfren untuk meningkatkan literasi digital serta pemanfaatan internet.
Mereka berkomitmen untuk memberdayakan masyarakat agar mampu menyaring informasi di era digital yang penuh tantangan.
Secara nyata jika tidak mengindahkan network etiquette (netiket) akan merugikan penggunanya, karena membuahkan sanksi sosial dan sanksi hukum
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved