BERBICARA tentang Hari Kartini, tidak lepas dari sosok Raden Adjeng Kartini. Pejuang emansipasi perempuan ini merupakan sosok pantang menyerah dan sikapnya bisa menjadi panutan kita.
Berikut sejumah sikap dari RA Kartini yang bisa kita teladani.
Cerdas & Berwawasan Luas
Baca juga: Jamur Candida Auris Berpotensi Berbahaya dan Mematikan bagi Orang Tua
Walaupun berhenti sekolah setelah umur 15 tahun dan dipingit, Kartini tetap semangat mempelajari hal-hal baru saat di rumah. Lewat kotak bacaan langganan ayahnya (leestrommel), ia memperkaya wawasan lewat buku, koran, dan majalah dari dalam maupun luar negeri. Bacaannya juga berbagai tema dari sosial, politik, hingga sastra.
Selama dipingit, Kartini bersama adik-adiknya juga senang belajar menggambar, membatik, memasak, berlatih Bahasa Belanda, dan bermain piano. Wawasannya juga semakin luas, karena ia sering berbagi pengalaman lewat surat menyurat bersama temannya di Belanda, Rosa Abendanon dan Estella Zeehandelaar.
Baca juga: Ini Sekolah Kedinasan Jurusan IPA dan IPS yang Sepi Peminat
Kartini menunjukan belajar tidak harus dari sekolah saja. Kamu bisa mempelajari banyak hal dari mana pun, apalagi sekarang kita mudah sekali mendapatkan akses belajar. Dengan mengetahui banyak hal, pikiran kita akan semakin kritis, terbuka, dan maju.
Sama halnya dengan pengalaman dari Tara Westover dalam bukunya berjudul Terdidik (Educated) tentang keberhasilannya mencapai pendidikan doktoral. Padahal masa kecilnya tidak pernah mengenyam pendidikan formal.
Memiliki Tekad yang Bulat & Pantang Menyerah
Saat bersekolah, ia kerap dicemooh guru-guru orang Belanda, karena ia perempuan dan mempunyai kulit berwarna. Walaupun begitu, ia tetap rajin dan semangat belajar untuk berusaha maju menyamakan diri dengan kepintaran anak-anak Belanda lain.
“Orang-orang Belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tetapi kami berusaha maju, kemudian mereka mengambil sikap menantang kami. Betapa banyaknya duka cita dahulu semasa kanak-kanak di sekolah, para guru dan banyak di antara kawan mengambil sikap permusuhan kepada kami. Kebanyakan guru itu tidak rela memberikan nilai tertinggi pada anak Jawa, sekali pun si murid berhak menerima.” (Surat kepada Estella Zeehandelaar, 12 Januari 1900, dikutip pada ilovelife.co.id)
Demi memajukan para perempuan Indonesia, dalam masa pingitan Kartini membuka sekolah untuk anak-anak perempuan yang tinggal di sekitar rumahnya. Ia mengajarkan membaca, menulis, berhitung, bernyanyi, dan keterampilan lainnya. Setelah masa pingit Kartini dan adik-adiknya selesai, mereka diizinkan oleh sang ayah membuka sekolah bagi masyarakat di pendopo kabupaten.
Saat harus menikah, beliau juga tetap melanjutkan membuka sekolah khusus untuk mendidik perempuan dan anak-anak. Untunglah ia didukung suaminya untuk membangun sekolah di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.
Rasa ambisius dan pantang menyerah ini patut diteladani. Jika menginginkan sesuatu, kita perlu berjuang dan percaya bahwa kita bisa mendapatkannya, walau banyak tantangan yang harus dihadapi. Dihalangi orangtua, dicemooh orang-orang, tak menjadikan Kartini patah semangat. Ia tidak pernah menyerah dalam memperjuangkan hak perempuan untuk bisa mendapatkan pendidikan yang sama.
Patuh dan Menghormati Orangtua
Pandangan Kartini sangat berbeda dengan orangtuanya. Pertama saat ia diharuskan berhenti sekolah dan dipingit di rumah hanya untuk menunggu lelaki datang menikahinya. Lalu saat ia dilarang pergi ke Belanda atau Batavia untuk mengenyam pendidikan dan terakhir saat ia dijodohkan oleh orangtuanya.
Walaupun begitu, ia tetap menghormati sikap dan menerima keputusan orangtuanya. Kartini tidak membangkang, ia rela berkorban dan meredam ego untuk tetap patuh terhadap orangtuanya.
Di sisi lain, ia tetap berusaha untuk menggapai cita-citanya. Menghormati orang lain berarti kita bisa menghargai mereka. Rela berkorban juga berarti kita lebih mementingkan kepentingan bersama dibanding pribadi.
Ada satu buku yang mengangkat tema dari budaya kawin tangkap di Sumba. Buku itu mengisahkan pengalaman para perempuan yang harus mengalami adat tersebut. Buku Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam, sangat kritis dalam memperlihatkan budaya yang sangat merugikan perempuan dan seolah hanya dijadikan objek, tak punya pilihan, dan tidak boleh memiliki kebebasan.
Berani dan Optimis
Terbelengu adat, perbedaan pendapat dengan orangtua atau masyarakat, tak menjadikan Kartini berhenti mencari cara untuk memperluas wawasan. Sikapnya yang berani mendobrak berbagai aturan, serta optimis bahwa apa yang dilakukannya bisa berdampak besar, membuktikan dengan hasil di mana sekarang wanita Indonesia sudah bisa mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki.
Melalui karya tulisan dan surat-suratnya, Kartini juga menyuarakan apa yang dirasa serta dipikirkan, bahwa perempuan harus keluar rumah, belajar, dan mengejar cita-cita, bukan hanya sekadar mengurus rumah tangga. Admin setuju banget! Para perempuan Indonesia jangan pernah takut menggapai mimpi, berani speak up, dan dapatkan segala yang kamu inginkan!
Sederhana dan Rendah Hati
Lahir sebagai keturunan bangsawan, tak menjadikan dirinya sombong atau hidup berfoya-foya. Bahkan ia menolak perilaku para bangsawan lain yang menggunakan status dan derajat mereka untuk menindas kaum di bawahnya. Ia malah senang bergaul dan berteman dengan siapa saja.
Karena ibu kandungnya hanyalah selir dari rakyat biasa, aturan feodal membuatnya tak boleh memanggil kata "Ibu" tapi dengan kata “Mbakyu”, sedangkan ibunya memanggil Kartini “Ndoro”. Aturan itu juga membuat adik-adiknya harus berjalan jongkok, menyembah, menunduk, dan bersuara pelan ketika berbicara dengannya.
Bagi Kartini, hidup dalam kesederhanaan dan kehematan, akan mencegah kesengsaraan di masa mendatang. Pernikahannya bersama bangsawan pun tidak menggelar pesta dan tidak menggunakan baju pengantin.
Diberikan rezeki yang berlimpah tentunya nikmat yang tiada tara, namun bukan berarti kita berfoya dalam kemewahan. Tetap down to earth dan jangan lupa untuk tetap berbagi ya.
Berjiwa Sosial dan Penuh Kasih Sayang
Kartini sangat peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Beliau mengajar anak-anak kecil yang tak seburuntung dirinya, untuk tetap mendapatkan pendidikan. Beliau pun selalu memandang bahwa manusia diciptakan untuk saling menyayang dan mengasihi.
Sifat perhatian ini bisa kita terapkan dengan memperhatikan hal-hal kecil di sekitar kita, dan meningkatkan rasa empati dengan sesama.
Semangat dan dedikasi Kartini begitu besar di bidang pendidikan untuk kaum perempuan. Ikuti semangat Kartini dalam menggapai mimpi dan memperluas wawasan, salah satunya dengan membaca buku yang merupakan gudang ilmu. (Z-3)