Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Musafir

Soleh Solihun
09/7/2015 00:00
Musafir
Penyiar Soleh Solihun(Dok MI)

SEPULUH hari lalu, saya jalan-jalan ke London, Inggris. Gaya, ya? Ha ha ha. Bukan mau ria, tapi mau berbagi cerita.  Sebelum berangkat, saya mengira menjalani puasa di sana akan sangat berat. Maklum, imsaknya sebelum pukul 03.00 dan magrib pukul 21.30. Kira-kira 18 jam tak boleh makan dan minum!

Memang sih, kata guru agama, musafir alias dalam perjalanan boleh tak puasa. Tapi saya membayangkan harus mengganti 10 hari berpuasa di luar bulan Ramadan, rasanya berat.

Sebelum berangkat, ada yang mengirim berita kepada saya soal ulama di London yang bilang bahwa muslim di sana lebih baik berpuasa mengikuti waktu di Mekah. Alasannya karena terlalu lama berpuasa. Namun, ada ulama yang membantah pendapat itu.

Kalau dipikir-pikir membingungkan. Puasa mengikuti Mekah tapi salat mengikuti waktu setempat. Akhirnya, saya pilih menjalankan puasa sesuai waktu London. Hitung-hitung pengalaman pernah puasa 18 jam.

Setelah dijalani, 18 jam menahan lapar dan dahaga adalah perkara mudah buat orang yang sedang sehat walafiat. Entah karena udara London yang tak sepanas Jakarta. Cuacanya cenderung menyenangkan. Entah karena suasana hati saya gembira sedang jalan-jalan ke luar negeri, jadi lapar dan dahaga tak terasa. Entah karena memang sudah niat berpuasa, entah pula karena secara psikologis, meskipun magribnya pukul 21.30, tapi kan langit masih terang.

Kadar lapar dan dahaga sama dengan di Jakarta. Rumah makan yang buka tak mengganggu puasa saya. Kelihatannya, muslim di London juga bisa beribadah dengan tenang. Tak sesulit yang ditampilkan di salah satu film lokal soal beribadah di negara Eropa. Masjid juga mudah ditemukan dan para muslimin bisa beribadah dengan tenang tanpa ada gangguan.

Tapi, ada godaan lain yang lebih berat. Sejauh mata memandang, di setiap sudut jalan, banyak penampakan perempuan cantik yang mengumbar aurat. Memakai celana 'gemes' (celana superpendek), tank top, dan memamerkan kulit putih mereka.

Kalau di Jakarta, yang biasanya memakai celana 'gemes' di jalan raya lebih banyak ‘cabe-cabean’. Di London, banyak sekali yang melakukan itu. Mungkin karena sedang musim panas. Dan, saya tak bisa mengelak dari semua itu. Memalingkan mata dari yang satu, eh tahu-tahu, ada lagi di sudut yang lain.

Tapi, ya, hikmahnya sih, saya melihat aurat perempuan jadi biasa saja. Katanya kan, kalau memandangnya biasa saja, tanpa ada perasaan berahi, tak berdosa kan, ya. Eh bener begitu enggak, ya? (H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya
  • Maaf, Meminta atau Memberi?

    03/6/2019 23:40

    IDUL Fitri baru dirayakan besok. Akan tetapi, kiriman kartu dan pesan via gawai berisi ucapan selamat sekaligus permintaan maaf sudah berdatangan

  • Damai dengan Puasa

    03/6/2019 07:55

    MENJELANG Hari Raya Idul Fitri masih saja ada api dalam sekam yang mengancam persatuan bangsa.

  • Adu Domba

    02/6/2019 03:00

    PEKAN ujian, saya menemani anak belajar sejarah Indonesia

  • Perang tagar

    01/6/2019 06:00

    RAMADAN tinggal beberapa hari lagi

  • Hati-Hati dengan Amin

    29/5/2019 03:20

    Baerhati-hati dengan penulisan Amin, bisa berbeda arti. Berikut ini macam-macam tulisan Amin dan artinya serta cara menulis kata amin yang benar.