Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
PANDANGAN yang menganggap etnik Tionghoa sebagai “orang luar” (the other) seyogyanya tak lagi dipertahankan, karena orang-orang Tionghoa turut memiliki andil dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan Bangsa Indonesia.
Hal itu ditegaskan Koordinator Eksekutif Forum Sinologi Indonesia Galuh P. Larashati dalam webinar bertajuk Generasi Muda Membaca Mei 1998 yang diselenggarakan FSI.
FSI merupakan lembaga riset yang digagas oleh Abdullah Dahana, sinolog senior dan guru besar purna bakti dari Universitas Indonesia, bersama dengan Johanes Herlijanto, pemerhati Tiongkok dan masyarakat Tionghoa dari Universitas Pelita Harapan, Jakarta.
Galuh mengatakan, berbagai aktivitas sosial kemasyarakatan yang dilakukan oleh banyak aktivis Tionghoa pascaberdirinya Republik Indonesia merupakan bukti nyata atas Keindonesiaan masyarakat etnik Tionghoa.
“Oleh karenanya Keindonesiaan orang Tionghoa tidak bisa ditawar tawar lagi,” tuturnya.
Dalam pernyataannya, Galuh menekankan pentingnya anak anak muda dari segala latar belakang untuk terlibat dalam pembentukan dan penyebaran narasi-narasi positif mengenai Tionghoa Indonesia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat dan negara kesatuan Republik Indonesia.
Para pembicara dalam webinar itu juga sepakat bahwa Tragedi Mei 1998 merupakan peristiwa kelam yang menimbulkan luka yang mendalam, khususnya pada etnik Tionghoa di Indonesia. Pengalaman luka tersebut disampaikan oleh Rani Pramesti, berdasarkan berbagai interview yang ia lakukan ketika memproduksi novel “Chinese whispers,” yang menjadi sebuah karya monumental itu.
Baca juga : Akselerasi Penanggulangan Stunting Butuh Kolaborasi
Namun, peristiwa tersebut bukan hanya melukai etnik Tionghoa, tetapi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Oleh karenanya, proses penyembuhannya harus dilakukan oleh segenap komponen bangsa.
Penulis Margareta Astaman mengatakan, etnik Tionghoa justru menanggapi peristiwa Mei 1998 dengan melakukan berbagai aktivisme untuk memperkuat keindonesiaan mereka.
Etnik Tionghoa membentuk berbagai organisasi, antara lain Solidaritas Nusa Bangsa, sebuah organisasi multi etnik yang digagas oleh para tokoh muda Tionghoa saat itu.
“Anak anak muda Tionghoa dari generasi milenial yang sebelumnya acuh tak acuh terhadap perpolitikan di Indonesia, menjadi tergerak untuk melakukan aktivisme,” tuturnya.
Namun dalam pandangan Margareta, sebagian besar dari para aktivis muda Tionghoa tersebut memilih untuk melakukan aktivisme sosial. Di sisi lain, observasi Margareta menyebutkan, pertanyaan terhadap asal usul mereka sebagai hal yang tak lagi relevan. Sebaliknya anak anak muda Tionghoa menginginkan pudarnya perbedaan antara Pribumi dan non Pribumi.
Pendiri Project Multatuli, Evi Mariani mengingatkan pentingnya melihat hubungan antar etnik di Indonesia, baik pada masa lalu maupun sekarang, sebagai problem struktural. Oleh karenanya, upaya mendesak negara agar mengatasi ketimpangan sosial menjadi penting, dibanding melakukan kegiatan kegiatan yang meningkatkan potensi konflik antar masyarakat. (RO/OL-7)
Berbagai langkah kreatif harus terus diupayakan dalam upaya menanamkan nilai-nilai kebangsaan yang dimiliki bangsa ini kepada generasi penerus.
PERMASALAHAN bangsa saat ini semakin beragam sehingga diperlukan langkah penguatan kebangsaan generasi muda agar mampu menjawab dan mengatasi tantangan tersebut.
KETUA Umum Ahlulbait Indonesia (ABI) Zahir Yahya menilai untuk menghadapi tantangan di Indonesia yang kompleks, Islam dan kebangsaan harus berjalan beriringan.
Imigrasi Jakarta Barat, Denny Priyankasetya mengatakan mulai 2025, sampul paspor tak lagi berwarna biru kehijauan berganti pada latar belakang merah dengan tulisan putih
SEBAGAI bangsa, sesungguhnya kita tengah kehilangan narasi. Kehilangan--meminjam istilah Bagus Mulyadi--akan letaknya di dalam kosmos kehidupan ini.
Melestarikan seni wayang menjadi bagian penting dalam memperkuat nilai-nilai kebangsaan, seperti yang tercermin dalam Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Jaga NKRI! Temukan tantangan persatuan & strategi memperkuatnya. Artikel ini wajib dibaca untuk Indonesia yang solid!
Pada eklarasi tersebut, sekitar 1.400 orang perwakilan mantan anggota Jamaah Islamiyah siap kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mantan narapidana teroris dan pengikut kelompok Jamaah Islamiyah (JI) wilayah Sulawesi menyatakan membubarkan diri dan kembali bergabung ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
PERAN aktif generasi muda dalam proses pembangunan harus terus ditingkatkan dengan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam empat konsensus kebangsaan yang kita miliki.
Inche Abdoel Moeis adalah pejuang nasionalis tanpa pamrih, yang berjuang dari Kalimantan Timur dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) II Pemuda Katolik menggarisbawahi tentang kesatuan NKRI
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved