Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Perlindungan Hukum untuk PRT Hindari Perbudakan Modern

Dinda Shabrina
21/4/2022 08:50
Perlindungan Hukum untuk PRT Hindari Perbudakan Modern
Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia mengikuti aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta, Senin (7/2/2022)(ANTARA/MUHAMMAD ADIMAJA)

PEKERJA Rumah Tangga atau PRT perlu mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini disampaikan Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini. PRT sebagai sebuah profesi, jika tidak diatur dan tidak adanya kehadiran negara untuk berupaya melindungi, Theresia mengatakan negara itu akan masuk dalam jebakan perbudakan modern.

“Kalau tidak diatur, negara tidak hadir untuk berupaya melindungi PRT, kita akan masuk dalam jebakan perbudakan modern,” kata Theresia dalam webinar “Habis UU TPKS, Terbitlah UU PPRT”, Rabu (20/4).

Theresia membandingkan PRT di Indonesia dengan beberapa negara seperti Filipina dan India. Ia mengatakan jumlah PRT di Filipina yang hanya berkisar 2,8 juta dan India 3,8 juta sudah mempunyai regulasi yang mengatur hak-hak pekerja rumah tangga. Sementara di Indonesia, kata Theresia, yang memiliki jumlah PRT lebih dari 4 juta, belum memiliki regulasi yang dapat melindungi PRT.

Baca juga:Masyarakat Cenderung Cari Berita dari Internet Ketimbang Televisi

“Filipina disusun 2013, disahkan 2013 dengan Batas Kasambahay. Ini aturannya. Di India, aturannya terbit tahun 2008, mengatur soal pendaftaran. Jadi pemberi kerja wajib mendaftarkan PRT mereka ke departemen tenaga kerja, lalu ada perlindungan jaminan sosial dan kesejahteraan untuk PRTnya. Negara lain sudah nyata. Sementara Indonesia? Kita masih terus mendorong supaya negara hadir untuk membantu PRT kita,” ujar Theresia.

Sementara itu, berdasarkan data dari Konvensi ILO atau Organsiasi Perburuhan Internasional, pada tahun 2015, Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia menyentuh angka 4,2 juta. Temuan ini disampaikan Brian Sri Prahastuti, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI dalam diskusi tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

Brian melihat ada urgensi untuk menyelesaikan persoalan yang dialami pekerja rumah tangga. Berdasarkan data itu, ia mengungkapkan bahwa ¾ atau 75% PRT adalah perempuan, sisanya adalah anak-anak. Brian mengaku sebagai penanggungjawab isu perempuan dan anak, ia mendapatkan amanah untuk melakukan pengawalan.

Persoalan PRT diakui Brian berada dalam kerentanan yang multidimensi. PRT tidak hanya rentan mengalami kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Tetapi juga rentan untuk mengalami diskriminasi, stigmatisasi dan berada pada situasi kerja yang tidak layak.

“Kita bisa lihat faktanya. Jam kerja, beban kerjanya, upah, kemudian tidak semua mendapatkan hak cuti lembur. Belum lagi istirahat. Akses jaminan sosial serta standar keamanan dan keselamatan kerjanya. Semua masih jauh,” kata Brian dalam webinar, Rabu (20/4).

Hal itu selaras dengan data yang ditemukan JALA PRT, bahwa sepanjang periode 2018-2020 di Indonesia, tercatat ada sekitar 1700 lebih kekerasan terhadap PRT dan 82% PRT ternyata tidak bisa mengakses jaminan sosial.

Dalam perjalanannya sejak diajukan untuk menjadi UU pada 2004, Rancangan UU Perlindungan PRT masih belum ada kemajuan. Brian mengharapkan agar RUU ini segera diusulkan untuk dibahas dalam sidang paripurna.

“Di sini menjadi catatan kritis. Bahwa perjalanannya terlalu panjang untuk proses RUU menjadi UU PPRT. Tahun 2022 ini sudah kembali ke prolegnas, artinya ada ruang dan peluang bagi kita, semua pihak untuk mendorong. Segera agendakan RUU PPRT ini ke sidang paripurna dan disahkan menjadi inisiatif DPR,” ujar Brian.

Seorang PRT dari Makassar, Arnida, dalam kesempatan itu juga turut menyampaikan apa yang dialaminya sebagai PRT. Ia mengeluhkan upah yang sangat rendah, jam kerja yang panjang, tidak ada hari libur, tanggungjawab berlapis serta tidak adanya jaminan sosial.

“Saya sendiri alami kekerasan ekonomi. Kalau di Makassar, gaji PRT itu rendah, hanya 600-700 ribu per bulan. Saya rasa itu sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Sudah 18 tahun yang lalu RUU PPRT ini diajukan, tapi belum juga disahkan pemerintah. Saya mewakili teman-teman PRT agar UU ini disahkan untuk kesejahteraan kami,” tutur Arnida. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya