Headline
Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.
RENCANA mengubah nama jalan di daerah Menteng, Jakarta Pusat, menjadi Jalan Ataturk serentak menyedot kontroversi di tengah masyarakat. Kelompok-kelompok yang tidak sudi nama Ataturk dipakai menjadi nama jalan di Indonesia meradang dengan berbagai cara dan ekspresi yang sangat kentara di dunia maya.
Informasi-informasi seputar Mustafa Kemal Ataturk kembali bermunculan dengan reproduksi sedemikian rupa untuk mengipasi api kontroversi yang sedang berkobar dalam sepekan ini. Kenapa sebagian bangsa Indonesia masih sangat alergi dengan Bapak Bangsa Turki tersebut?
Jawaban untuk pertanyaan di atas dapat menguak cara bagaimana bangsa ini menyerap informasi dengan disiplin yang abai dan lungkah--tanpa proses verifikasi ke sumber-sumber yang berimbang (seperti ahli Turki, yaitu mereka yang meriset secara tekun Turki atau Turkulog) dan kemudian mempertanyakan kembali untuk mencari jawaban yang proporsional atau diam lebih baik jika tidak mampu untuk itu.
Disiplin seperti ini semestinya sudah harus melekat pada diri manusia agar dapat menyerap informasi yang berimbang. Karena itu, kita bisa menghindari pengambilan kesimpulan yang semata-mata memenuhi nafsu binal yang berkamuflase dengan intensi religiositas.
Bahkan, lembaga besar seperti MUI pun ikut memperkeruh, misalkan, dengan komentar "…Mustafa Kemal Ataturk ini adalah seorang tokoh yang kalau dilihat dari fatwa MUI adalah orang yang pemikirannya sesat dan menyesatkan." yang disampaikan langsug oleh Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas, Minggu (17/10). Dari manakah kesimpulan tersebut diambil?
Perang informasi
Kecenderungan umum terkait cara menyerap informasi, apalagi sudah dirasuki virus post-truth, bukan lagi mengutamakan kebenaran melalui verifikasi dan kerja riset yang intensif, melainkan justru untuk menyokong opini dan pendiriannya. Karena itu, bagi mereka yang sudah terkatup narasi bahwa Ataturk ialah anti-Islam, Fir'aun zaman modern dan beragam tuduhan lain--dan hanya merasa selesai di situ--ialah hal muskil untuk bisa menerima dan mencerna informasi alternatif yang sudah bisa diakses secara mudah di dunia maya.
Seperti tidak ada ruang lain yang bisa dipelajari dan konsekuensinya mereka melihat Ataturk hanya dalam bingkai yang sumir.
Padahal, upaya memperkenalkan Turki secara lebih komprehensif sudah banyak dilakukan para alumnus, baik personal maupun komunitas, yang mempunyai perhatian serius tentang gejala-gejala penyempitan dan distorsi dalam membaca Turki.
Satu di antara beberapa komunitas yang sudah mengorbitkan karya-karya yang bisa dilacak untuk mencari bacaan alternatif tentang Turki ialah komunitas Spirit Turki dengan buku-buku yang sudah diterbitkan, seperti Turki yang tak Kalian Kenal, Turki yang Sekuler, dan Jalan-Jalan ke Turki, yang juga aktif berbagi di media sosial Instagram mereka.
Sependek yang saya cermati, perdebatan tentang Ataturk di Indonesia merupakan perdebatan yang mandek. Selesai pada suka atau tidak! Sulit menanggap upaya-upaya ‘memperpanjang napas’ menggali sumber-sumber bacaan lebih luas dan adu argumentasi yang bernas. Pelajaran penting yang sempat ditunjukkan Soekarno, Mohammad Natsir, dan Roeslan Abdul Gani untuk mendiskusikan Republik Turki sebagai bagian dari khazanah nation-state negara modern sudah benar-benar jauh panggang dari api.
Seruan Soekarno sendiri yang meminta, dalam konteks mempelajari Turki, agar membaca langsung dari sumber aslinya ternyata belum mampu terwujud demi keseimbangan informasi meskipun faktanya sudah berjibun alumnus-alumnus Turki dari Indonesia.
Akan tetapi, saya sadar bahwa alumni Turki bukan otamatis menjadi ahli Turki. Kalaupun ada orang yang tekun menguliti literatur dan meneliti hal ihwal Turki dari A hingga Z dan membawakan sumber-sumber segar sebagai pengkayaan tentang khazanah pengetahuan Turki, cara pikir yang terselubung dan pekak menerima informasi baru yang berseberangan dengan pendiriannya kerap kali menutupi kemungkinan kebenaran dari sumber yang lain.
Saya sendiri pernah mengalami penolakan ketika mencoba memberikan penjelasan lebih luas tentang Hagia Sophia yang kembali difungsikan menjadi masjid. Seorang netizen dengan ketus berkomentar, ‘Saya lebih percaya ustaz (itu)…’, meskipun orang yang dimaksud bukan ahli atau peneliti Turki dan dia pun tidak memahami bahasa Turki.
Saya menyinggung aspek demikian karena dalam praktiknya pengetahuan yang diyakini masyarakat dengan pendekatan kacamata kuda cenderung memaksakan tanpa kehendak berdialog lebih lanjut. Bahkan, informasi alternatif yang sudah dilakukan verifikasi dengan tekun untuk menghindari kekeliruan mendasar, seperti yang dilakukan tim Spirit Turki dalam berbagi tulisan-tulisan tentang Turki, kerap kali masih dituduh sebagai liberal, sekuler, dan bahkan pernah disebut sebagai agen komunis.
Cara pengambilan informasi begini semakin menyuburkan klaim-klaim kebenaran sepihak yang pada gilirannya terejawantahkan dalam bentuk sikap dan aksi nonkompromis.
Satu bukti berita palsu yang terus menyebar di kanal-kanal media sosial Indonesia ialah terkait kuburan Ataturk, tentang tubuhnya yang konon ditolak bumi dan makamnya di Anitkabir, Ankara, menebarkan bau busuk. Karena itu, pemerintah Turki harus repot-repot menyemprotkan parfum. Untuk memperkuat cerita karangan ini, klaim sebagai siksaan dan kutukan Tuhan tak terampuni telah memperkuat sikap apriori yang sudah kadung menyebar bak air bah ke tengah-tengah masyarakat pemalas dan menelan mentah-mentah produksi informasi personal yang bertebaran di media sosial.
Cerita karangan yang entah dari mana bermula ini membuat orang Turki sangat marah meradang ketika mendengarnya. Kelompok islamis saja, yang secara umum tidak menyukai Ataturk, tetap menjaga sikap secara proporsional karena seburuk-buruknya Ataturk, di mata mereka masih mempunyai banyak jasa yang layak dihormati dan dirayakan sebagai Bapak Bangsa, misalkan, dalam aspek militer, pengorganisasian gerakan perlawanan, khsusnya di Tanah Anatolia, di masa-masa genting karena serangkaian perang awal abad 20 dan termasuk hal ihwal nasionalisme.
Yang terakhir ini, terlepas dari kontroversi yang menyertai di internal Turki sendiri tidak bisa dinafikan sebagai legasi yang telah membentuk Turki sebagai sebuah bangsa dengan nasionalisme yang kukuh seperti kita lihat sekarang.
Menatap ke depan
Di internal negara Turki sendiri, kontroversi tentang Ataturk bukan barang baru, melainkan mengulang-ulang hal yang sama ialah pekerjaan sia-sia dan dekaden. Untuk itu, Turki memilih menempatkan figur yang satu ini pada pusaran yang terkunci atau ‘sengaja dikunci’ di tempat yang dihormati (tidak boleh dibercandakan, alih-alih olok-olok).
Cara seperti ini telah menjadi mitos dan sekaligus kultus: tidak boleh lancang mempersoalkan Ataturk dengan asosiasi-asosiasi yang buruk. Meski begitu, ialah hal normal dalam dinamika suksesi kepemimpinan dengan latar ideologi masing-masing yang kukuh jika muncul upaya dari suatu kelompok melakukan glorifikasi terhadap Ataturk atau bahkan sebaliknya (de-ataturkisasi).
Potret begini sudah menyejarah dalam kehidupan sosial-politik Turki. Namun, mereka ‘dipaksa’ bersepakat terikat dalam pakem bersama melalui satu kata kunci perintah yang kasatmata: hormati! Bahkan, satu di antara penulis sejarah prolifik tentang Ataturk, Lord Kinross, mampu menggambarkan suasana kehilangan mendalam bangsa Turki ketika Ataturk meninggal, Turkiye, sevgilisini kaybetti (Turki kehilangan kekasihnya).
Dengan komitmen demikian, Turki terbukti lebih luwes berkembang menatap masa depan. Mampu menegosiasikan masa silam mereka (dari kesultanan menjadi republik) yang oleh sebagian kelompok masyarakat Indonesia dianggap sebagai malapetaka yang sangat muram. Namun, nyatanya, melalui kesadaran rakyat yang kukuh untuk kepentingan nasional mereka, Turki terbukti mampu memegang peran penting di kawasan dan bahkan terus merambah untuk menancapkan pengaruhnya. Khususnya, di negara-negara Afrika dan Asia, termasuk Indonesia.
Perlu dicamkan bahwa eksistansi dan posisi seorang figur tidak akan pernah memuaskan semua pihak, termasuk Ataturk. Orang Indonesia cenderung mengorek sosok Ataturk melalui kebijakan politiknya setelah republik Turki berdiri dengan mengintrodusir sistem republik (menggantikan kesultanan) dan sekularisme (membatasi ruang gerak agama). Kebijakan-kebijakan Ataturk pasca-Turki menjadi republik menjadi komoditas yang bisa dijual bebas di Indonesia dengan beragam kepentingan politik di belakangnya.
Naifnya, sejarah perjuangan bersama rakyat dengan mengangkat senjata untuk mempertahankan sepetak tanah bernama Anatolia yang sudah diintai sekutu setelah kalah Perang Dunia I sama sekali tidak penting dan tidak menjadi pertimbangan. Seandainya Turki kalah dalam mempertahankan tanah dan wilayah Ottoman di Anatolia dalam serangkaian perang Milli Mucadele (1919-1923) atau dikenal juga dengan Kurtulu Sava (Perang Pembebasan), negara Turki modern sudah pasti tidak seperti yang kita kenal hari ini. Ia bisa saja hanya mempunyai teritori secuil tanah atau bahkan menjadi negara boneka hadiah dari sekutu seperti negara-negara modern di Timur Tengah lainnya.
Namun, faktanya tidak. Turki bukan negara boneka dan bahkan menjadi pemain yang membuat ketar-ketir negara-negara Eropa ataupun pemimpin-pemimpin dunia lainnya. Turki memahami dirinya dengan sangat baik tentang kekuatan dan potensi yang bisa dimanfaatkan. Ia berani bermain mata dengan Amerika dan sekaligus Rusia, dua kekuatan warisan blok Barat dan Timur, yang tidak sembarang negara bisa melakukannya.
Di balik kekuatan dan potensi mereka, tentu sudah pasti terdapat kelemahan-kelemahan sebagai negara. Karena itu, kerja sama dalam konteks bilateral sangat dibutuhkan untuk saling memperkukuh. Indonesia sebagai negara mayoritas muslim terbesar di dunia termasuk mitra yang lambat digarap Turki ataupun sebaliknya.
Mengelola potensi
Untuk itu, kerja sama yang dijajaki kedua negara, saya kira sudah on the track. Kesepakatan untuk saling mendaftar nama tokoh penting tiap-tiap negara sebagai nama sebuah jalan merupakan langkah yang normal. Di Ankara menyediakan ruas jalan dengan nama Founding Father bangsa Indonesia, Ahmet Soekarno, dan sebaliknya, di Jakarta membubuhkan nama yang secara posisi setara sebagai Founding Father bangsa Turki, yaitu Mustafa Kemal Ataturk.
Kesepakatan tukar guling (prinsip resiprokal) nama jalan seperti ini akan menjadi momentum bagi kedua negara untuk sama-sama memperkuat beragam sektor yang dapat dimanfaatkan untuk menjalin kerja sama secara lebih erat ke depan.
Penamaan nama jalan dalam konteks negosiasi kerja sama bilateral bukanlah hal baru. Di negara yang jelas-jelas berlandaskan syariat seperti Pakistan mengizikan nama Ataturk tercatat pada nama jalan, yaitu Ataturk Avenue. Sebaliknya, di Ankara terdapat nama jalan dengan nama Cinnah Caddesi (Jalan Jinnah).
Selain itu, banyak negara yang disasar Turki untuk menjalin mitra kerja sama juga sudah biasa memunculkan nama Ataturk, baik sebagai nama jalan maupun patung, dan termasuk masjid-masjid sebagai bentuk diplomasinya, seperti di Meksiko, Kuba, Amerika Serikat, dan negara-negara Afrika.
Untuk itu, saya justru ingin mengajak masyarakat agar menyudahi perdebatan mandek seperti ini dan langkah yang paling dibutuhkan ialah dukungan penuh atas jalinan kerja sama agar dapat memperkuat kedua negara yang sama-sama mayoritas muslim.
Umat Islam, secara umum dan wabil khusus kelompok islamis yang paling gencar menolak rencana ini, semestinya menyambut kerja sama kedua negara yang progresif ini dengan sukacita agar umat Islam sendiri semakin kuat ke depan dengan kesadaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju dari kedua negara.
Masyarakat yang masih membuang sampah secara liar diimbau agar membuang di tempat yang disediakan.
Masalah yang terjadi dalam beberapa hari terakhir berkaitan dengan bus pariwisata, tak bisa sepenuhnya dibebankan pada Kementerian Perhubungan maupun pemilik usaha bus transportasi.
Presiden Joko Widodo hari ini akan meresmikan pelaksanaan Inpres Jalan Daerah di Provinsi Sulawesi Tengah.
KPK menetapkan 5 orang tersangka dalam OTT di Kalimantan Timur. Mereka terlibat dalam kasus dugaan suap dalam proyek pengadaan jalan di Kaltim pada 2023.
Satuan Tugas (Satgas) Terpadu Penilaian Gedung dan Nongedung untuk Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi Provinsi DKI Jakarta resmi dibentuk. Apa tugasnya?
Jadwal Presiden RI Joko Widodo untuk meninjau jalan rusak di Lampung diubah menjadi Jumat (5/5), bukan Rabu (3/5) ini.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved