Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
MENYITIR data Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2018, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips Vermonte menyebut Indonesia hanya mengeluarkan 0,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk kepentingan riset. Angka itu jauh dibandingkan Korea Selatan yang menggelontorkan 4,1%, Jepang (3,4%), dan Swiss (3,2%).
Dengan belanja tersebut, Indonesia hanya memiliki 89 peneliti per 1 juta penduduk. Di sisi lain, jumlah peneliti di negara tetangga seperti Singapura mencapai 6.632 orang, sementara Malaysia 2.054 peneliti, dan Thailand 963 peneliti per 1 juta penduduk. Data itu dipaparkan Philips dalam diskusi daring bertajuk Pengayaan Konten Buku Indonesia Menuju 2045.
Baca juga: Realisasi PEN Capai Rp320 Triliun
Pada proyek buku yang digagas oleh Lemhanas, CSIS mengangkat subjudul Mencapai Kemajuan berbasis Inovasi dan Pengetahuan. Menurut Philips, Indonesia harus menentukan potensi yang dimiliki untuk menuju 2045. Untuk mencapai kesejahteraan saat Indonesia merayakan kemerdekaan ke-100 tahun, lanjutnya, Indonesia perlu mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) berbasis inovasi dan pengetahuan.
"Karena teknologi itu basisnya adalah inovasi, dan ketika dia maju, dia akan menciptakan ekonomi berikutnya, inovasi berikutnya, seperti multiplier effect," kata Philips, Sabtu (14/8).
Untuk menyukseskan hal tersebut, CSIS menyimpulkan kebijakan harus disusun dalam satu ekosistem. Pemerintah tidak bisa dijadikan satu-satunya pemangku kepentingan yang paling mengetahui untuk mencapai kesejahteraan. Dalam ekosistem itu, kebijakan ekonomi juga perlu melibatkan pihak swasta, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, maupun konsumen.
"Kami sebagai lembaga think tank, yang pelu kami dorong adalah kita perlu prasyarat riset dan teknologi agar kita punya cukup modal untuk bisa melahirkan kebijakan-kebijakan yang berbasis evidence dan berbasis pengetahuan. Sehingga kebijakan tidak menjadi hal yang bersifat trial and error," terangnya.
Philips juga menekankan peran sektor swasta dalam berinvestasi pada riset. Sebab, tren global menunjukan sektor swasta lebih berkontribusi dalam mendorong pengembangan riset dan pembangunan. Korea Selatan menduduki peringkat pertama dengan kontribusi riset swasta yakni mencapai 78,2%. Indonesia sendiri hanya 25,6%, tertinggal oleh tetangganya seperti Malaysia (45,6%), Vietnam (51,7%), dan Filipina (35,7%).
"Apapun yang kita lakukan, bidang sosial, politik, ekonomi, sains, semua harus berbasis pada riset dan teknologi, agar kebijakan apapun yang kita ambil, well informed decision untuk mencapai Indonesia 2045," pungkasnya.
Pada kesempatan yang sama, Cecilia Sumarlin dari Komunitas Tetap Merah Putih yang menjadi anggota tim penulis buku Indonesia Menuju 2045: SDM Unggul dan Teknologi Adalah Kunci, menekankan pentingnya pendidikan terutama saat pandemi covid-19. Ia menyebut kualitas pendidikan di Indonesia harus sejajar dengan negara ASEAN dan negara kawasan seperti Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, Australia, serta Selandia Baru.
"Dalam pendidikan dengan keadaan wi-fi di Indonesia, anak sekolah punya gadget, satu anak tidak punya satu smartphone, dan sekolah ditutup berbulan-bulan, semakin ketinggalan di banding negara lain," urainya.
Satu buku lagi dalam proyek tersebut ditulis oleh wartawan harian Kompas berjudul Indonesia Menuju 2045: Catatan Kompas, Wacana Menuju Sejahtera Bersama. Menurut Natalia Soebagjo dari Transperancy International, ketiga buku tersebut berhasil mengangkat semua tantangan dan peluang yang dihadapi Indonesia, sehingga perlu dibaca oleh politisi dan pembuat kebijakan.
Dari hasil pembacaannya, Natalia menggarisbawahi pentingnya kepemimpinan politik yang berpihak pada kelompok lemah dan berkesinambungan. Oleh sebab itu, untuk mencapai Indonesia yang sejahtera di 2045, institusi demokrasi harus bersih, bebas dari korupsi, transparan, dan mendengar suara rakyat.
"Keberpihakan tidak tercapai kalau democratic institution tidak mampu menjaga integritasnya," pungkasnya. (OL-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved