Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Doa Kami Untuk Kesuksesan Kalian Nak...

Metty Hartina, Guru SMPN 21 Batanghari, Jambi, Fasilitator Program Pintar Tanoto Foundation
01/3/2021 22:30

HADIRNYA covid–19 telah memaksa pemerintah mengeluarkan keputusan untuk melakukan pembelajaran dari rumah. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya memutus rantai penyebaran virus korona. Aktivitas belajar dari rumah pun lebih banyak dilakukan secara daring. 

Pembelajaran daring bisa dilakukan dengan lancar bila peserta didik punya sarana pendukung seperti telepon pintar dan sinyal yang memadai. Tapi, bagaimana dengan peluang pembelajaran luring bila melihat fakta ada peserta didik yang terkendala sarana pendukung? Kalau kemudian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai membuka wacana bahwa tahun ajaran baru bisa dilakukan pembelajaran secara luring, hal ini cukup menggembirakan.

Belajar jarak jauh tidak selamanya indah. Di awal pandemi guru dan peserta didik sama-sama berupaya untuk menyesuaikan dengan kondisi. Guru dan peserta didik dipacu untuk melek teknologi. Beberapa bulan melakukan pembelajaran lewat layar telepon bukan yang diharapkan, dan memang tak ada lagi pilihan. Kelas virtual cukup mengobati kerinduan peserta didik dengan teman-temannya kendati hanya bisa bertegur sapa saja.

Koneksi internet yang tak mendukung kerap menimbulkan persoalan bagi para siswa. Sehingga salah satu cara menyiasatinya adalah membuat dua gelombang, pagi dan malam hari. Cara lain ialah dengan menggunakan grup WhatsApp walau sejatinya tak terlalu efektif. Begitu juga bisa menggunakan akun di media sosial, kendati masih ada orang tua yang sama sekali tak paham.

Pola pembelajaran yang bersifat luring ialah memaksimalkan lembar kerja peserta didik (LKPD) sudah ada di tangan mereka. Rumah guru menjadi sasaran untuk didatangi apabila orang tua dan peserta didik mengalami kesulitan.

Beragam cerita terkait pembelajaran jarak jauh (PJJ) kadang bisa menguras air mata, bila mengingat bagaimana perjuangan peserta didik untuk bisa menggali ilmu. Ada yang ikut orang tuanya bekerja di luar daerah. Selain itu ada juga yang sudah menjadi yatim piatu sehingga membuat mereka tinggal di rumah paman atau wali, dan diminta ikut mencari nafkah. 

Belum lagi ada yang bersama keluarganya terpaksa pindah ke daerah lain untuk mencari penghidupan lebih baik. Yang tidak kalah menyayat hati adalah ketika ada peserta didik yang tak punya ongkos untuk sekadar mengambil tugas luring di sekolah. Sungguh sesuatu yang sulit untuk diceritakan bagaimana situasi dan kondisi demikian.

Sebagai guru kami sangat bisa merasakan bagaimana pedihnya hati mereka. Sedapat mungkin kami berusaha terus membangkitkan semangat mereka dalam belajar. Berusaha bersama untuk mengatasi masalah yang dihadapi, termasuk kalau harus mengantarkan tugas luring ke rumah-rumah anak didik. Tidak ada masalah yang tak bisa diselesaikan.

Apapun yang bisa dilakukan untuk peserta didik, sedapat mungkin akan kami lakukan. Mereka semua adalah anak-anak yang cerdas dan masih butuh ilmu pengetahuan. Kondisilah yang menyebabkan mereka terhambat. Teruslah berjuang anak-anakku dalam mencari dan memahami ilmu meski jarak jauh. Yakinlah akan ada pelangi di balik kehidupan pahit yang kalian hadapi saat ini. Kami akan selalu dan terus mendoakan kesuksesan kalian.

Metty Hartina, Peserta Peningkatan Skill Menulis bagi Tenaga Pengajar Se-Indonesia



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eko Suprihatno
Berita Lainnya