Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Sekolah Harus Jadi Tempat Melembagakan Nilai Toleransi

Mediaindonesia.com
10/2/2021 14:55
Sekolah Harus Jadi Tempat Melembagakan Nilai Toleransi
Komisioner Komnas Perempuan Dr Imam Nahe'i MHI.(Ist)

SEORANG anak harus dididik sejak dini untuk mengenal dan bersikap ramah dengan perbedaan. Oleh karena itu, sekolah harus menjadi lembaga yang bisa melembagakan nilai toleransi terhadap perbedaan. Tentu tidak sekadar desain kebijakan dan kurikulum, sekolah harus menyediakan ruang kondusif bagi tumbuhnya pola pikir dan pandangan anak didik yang ramah terhadap perbedaan.

Komisoner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Dr Imam Nahe'i MHI mengatakan, ada dua aspek yang perlu menjadi perhatian agar sekolah bisa menjadi lembaga yang bisa melembagakan nilai toleransi terhadap perbedaan.

Pertama, kebijakan pendidikan di tingkat pusat berkaitan dengan standar kompetensi nasional khususnya yang berkaitan dengan keagamaan. Kedua, kebijakan di tingkat lembaga pendidikan masing-masing.

"Sesungguhnya di tingkat kebijakan pusat sudah ada upaya-upaya untuk mencegah radikalisme yang berdampak pada intoleransi dalam beragama, yaitu konsep moderasi beragama yang digawangi oleh Kementerian Agama," ujar Nahe'i dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (9/2).

Namun ia melihat hal itu hanya terbatas di perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi Islam. Maka, lanjut dia, di beberapa perguruan tinggi Islam ada wadah yang disebut dengan rumah moderasi beragama.

Menurutnya, hal ini perlu diapresiasi, sekalipun belum menjadi gerakan yang masif. Ia berharap ada kebijakan baik di lingkungan Kemenag maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  (Kemendikbud) tentang keharusan moderasi beragama mulai dari pendidikan paling bawah.

"Nilai-nilai toleransi, penghormatan terhadap keragaman harus ditanamkan sejak usia anak-anak. Salah satu kebijakan itu antara lain bagaimana menetapkan standar kompetensi sekolah. Seharusnya ada indikator sikap keberagamaan yang lebih subtantif, tentang nilai-nilai universal seperti keadilan, kemanusian, kesetaraan, saling menghormati, kesadaran keragaman sebagai sunnatullah, dan lain-lain," ujarnya.

Lebih lanjut, Nahe'i menyayangkan bahwa saat ini standar kompetensi keagamaan dan religius itu hanya diukur oleh pelaksanaan ibadah-ibadah formal dari masing-masing agama. Menurutnya, jika standar religius diukur oleh ibadah-ibadah formal saja justru akan berdampak pada sikap eksklusivitas dalam beragama.

"Inilah akar radikalisme itu. Karena semua siswa akan merasa bahwa ibadahnya-lah yang paling benar, dan yang lain salah. Kemudian dari aspek kebijakan di tingkat sekolah. Saya kira juga sama, harus mengubah standar kompentesi religiositas siswa dengan kesalehan sosial  seperti keadilan, penghormatan martabat manusia, hak-hak asasi manusia dan sebagainya. Bukan semata kesalehan ritual individual," ungkapnya.


Baca juga: Wartawan Penerima Vaksin Harus Terverifikasi di Dewan Pers

 

Selain itu, ia juga menyarankan adanya pelatihan pagi para pendidik di sekolah tentang moderasi beragama. Karena menurutnya, menuju pada sikap ramah terhadap perbedaan, diperlukan pemaham yang baik terhadap ajaran-ajaran agama.

"Menghadirkan tafsir agama yang komprehensif mendalam, khususnya bagi pendidik menjadi penting. Sehingga mereka tidak gamang untuk bersikap ramah terhadap orang lain yang berbeda," tuturnya.

Ia mengungkapkan bahwa hingga saat ini dirinya melihat banyak pendidik yang hanya bersikap toleran pasif, hanya karena ada aturan di sekolah, bukan berangkat dari kesadaran bahwa itu bagian dari ajaran agama. Tapi bila tenaga pendidik sudah memiliki sikap dan kesadaran akan adanya perbedaan dan keharusan saling menghormati, maka selanjutnya bagaimana menyosialisasikan itu kepada anak didiknya.

"Di sisi lain perlu memasukkan moderasi beragama dalam kurikulum pendidikan atau menjadi perspektif setiap pendidik," jelasnya.

Apalagi, persaudaraan antarkeimanan sebetulnya telah dicontohkan oleh generasi sebelumnya. Namun ia menyebut bahwa contoh saja tidak cukup, karena untuk terinternalisasi dalam kesadaran, diperlukan penanaman ideologi yang kuat tentang pentingnya persaudaraan dan penghormatan terhadap perbedaan.

Oleh sebab itu, Nahe'i menyebut bahwa secara formal apa yang telah diputuskan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri ini menjadi kesepakatan nasional untuk tujuan yang baik, yaitu menjaga keragaman  dan saling menghormati.

"Secara substantif, saya melihat bahwa negara atau lembaga pendidikan seharusnya memang tidak mengatur apalagi mewajibkan sesuatu yang hakikatnya sudah diwajibkan dan diatur oleh agama. Biarlah ia menjadi domain agama yang bersangkutan," pungkas peraih Doktoral Hukum Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya itu. (RO/S-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya