BADAN PBB untuk Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan pantun sebagai Warisan Budaya tak Benda. Nominasi pantun diajukan secara bersama oleh Indonesia dan Malaysia. Bagi Indonesia, pantun menjadi tradisi budaya ke-11 yang diakui UNESCO.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengungkapkan momentum tersebut dapat menjadi awal bagi Indonesia agar terus memopulerkan pantun di masyarakat.
"Ini adalah awal yang baik. Harapannya besar. Mudah-mudahan, mulai sekarang, pantun banyak digunakan dalam acara Kemendikbud dan Kementerian/lembaga lain sementara sekolah juga harus mulai memopulerkan pantun," kata Hilmar dalam konferensi pers yang dilaksanakan secara virtual, Jumat (18/12).
Baca juga: UNESCO Tetapkan Pantun sebagai Warisan Budaya Dunia tak Benda
Ia juga menyatakan, hal itu merupakan sebuah cara yang tepat untuk menjaga hubungan delegasi antara Indonesia dan Malaysia.
"Ini jadi bukti bahwa hubungan diplomatik melalui jalur kultural ini efektif. Kita harus bekerja sama dengan negara lain untuk melestarikan budaya," ucapnya.
Ke depan, ia menyatakan pihaknya akan berupaya untuk menjaga tradisi lisan tesebut dimulai dari lingkungan kementerian hingga membangun budaya berpantun di sekolah lewat kurikulum yang ada.
Sebelumnya, Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO, Prof Surya Rosa Putra mengatakan UNESCO menilai pantun memiliki arti penting bagi masyarakat Melayu bukan hanya sebagai alat komunikasi sosial namun juga kaya akan nilai-nilai yang mejadi panduan moral.
Dikatakannya, pesan disampaikan melalui pantun umumnya menekankan keseimbangan dan harmoni hubungan antarmanusia.
"Bagi Indonesia, keberhasilan penetapan pantun sebagai Warisan Budaya tak Benda tidak lepas dari keterlibatan aktif berbagai pemangku kepentingan," ujarnya.
Ia membeberkan, keterlibatan baik pemerintah pusat dan daerah, maupun berbagai komunitas terkait Pantun seperti Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), Lembaga Adat Melayu, Komunitas Joget Dangdung Morro, Komunitas Joget Dangdung Sungai Enam, Komunitas Gazal Pulau Penyengat, Sanggar Teater Warisan Mak Yong Kampung Kijang Keke, serta sejumlah individu dan pemantun Indonesia mendorong pengakuan dari UNESCO itu. (OL-1)