Headline

Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.

FBE UII Luncurkan E-Magazine Edisi Pertama

Agus Utantoro
16/12/2020 06:54
FBE UII Luncurkan E-Magazine Edisi Pertama
Majalah elektronik UII-Business & Economics Insight edisi perdana.(Dok UII)

FAKULTAS Bisnis dan Ekonomika Universitas Islam Indonesia (FBE UII) meluncurkan majalah elektronik, UII-Business & Economics Insight. Edisi perdana majalah elektronik itu diluncurkan pada Selasa (15/12)  oleh Dekan FBE UII Jaka Sriyana.

Majalah ini akan diterbitkan satu kali dalam tiga bulan oleh FBE UII dan dapat diakses secara online dengan mengunduh di tautan https://fecon.uii.ac.id/be-insights/.

"Terbitnya majalah elektronik ini sebagai upaya FBE UII untuk menjangkau pembaca yang lebih luas sebagai kanal gagasan yang dapat dinikmati oleh berbagai pemangku kepentingan dalam merespon perkembangan  situasi bisnis dan ekonomi terkini," kata Jaka.

Baca juga: Trisakti Untuk Indonesia Sampaikan Soal Pandemi dan Intoleransi

Sedangkan Rektor UII Prof Fathul Wahid menitipkan  harapannya agar majalah UII-Business & Economics Insight dapat menjadi majalah yang unik dan berpenciri serta menginspirasi pembacanya.

"Berpenciri dan menginspirasi akan hilang tanpa kelestarian," katanya.

Fathul berharap majalah ini dapat istiqomah dalam menyerap semangat zaman, bergerak bersama selera zaman agar kehadirannya dapat terus relevan.

UII-Business & Economics Insight edisi pertama mengangkat tema "Pandemi dan Krisis Ekonomi". Tema ini diangkat untuk merespon kondisi ekonomi  yang sedang terimbas akibat pandemi yang masih belum menemukan ujung.

Peluncuran majalah tersebut dilaksanakan secara daring dengan mendatangkan dua kontributor dalam UII-Business & Economics Insight
edisi pertama.

Mereka adalah Suwarsono Muhammad (Ketua Umum Pengurus Yayasan Badan Wakaf UII dan Dosen FBE UII) dan Adib Zaidani Abdurrohman (Alumni FBE UII Angkatan 2002 sekaligus Diplomat/Negosiator Indonesia di Komite 5 PBB, New York, AS).

Dalam artikelnya, Suwarsono menghadirkan topik bahasan "Wajah Kembar Pandemi: Bumi Berhenti Berputar?".

Topik tersebut menampilkan tidak hanya sisi negatif dari pandemi, namun juga sisi positif yang jarang diperhatikan. Pandemi yang sudah berlangsung selama hampir satu tahun telah membuat bumi seolah hampir berhenti berputar.

"Saya melihat seburuk apapun pandemi, mereka tetap punya wajah kembar. Jangan pernah lupakan krisis, lihat bahwa jangan-jangan di balik krisis ada peluang bisnis yang tidak ditengok orang," kata Suwarsono saat mengulas artikelnya.

Menurut dia, pandemi merupakan krisis yang berbeda dengan krisis lain. Pasalnya, pandemi melahirkan perdebatan dua mazhab yang berbeda, yaitu pro pemulihan kesehatan dan pro pemulihan ekonomi.

Suwarsono menilai kedua hal tersebut harus dijalankan secara beriringan untuk mendapatkan keseimbangan yang ideal.

"Ada dua pokok persoalan dalam sisi publik di pandemi ini, dalam sisi teknis dan dalam sisi politik. Sayangnya, di negara berkembang memiliki kecenderungan penanganan krisis dimulai dari memulihkan sisi politiknya terlebih dahulu. Harusnya dimulai dari aspek teknis. Jadi kalau lagi pandemi yang dibereskan adalah kesehatan dan ekonomi dulu, politiknya belakangan," jelasnya.

Sementara Adib Zaidani Abdurrohman menuangkan gagasannya melalui topik "Diplomasi Ekonomi di Tengah Disrupsi Pandemi".

Adib menuliskannya sesuai dengan apa yang Ia lihat sehari-hari sebagai Diplomat/Negosiator Indonesia di Komite 5 PBB di New York. Salah satu kemajuan yang dihadirkan pandemi adalah teknologi. Hal ini menuntut tidak hanya teknologinya, namun orang-orangnya juga harus mampu berkembang dalam teknologi.

Dalam praktiknya, hubungan tatap muka dan hubungan personal yang erat merupakan hal yang sangat krusial dalam diplomasi antarbangsa. Namun, pandemi memaksanya untuk berkomunikasi secara virtual dengan bantuan teknologi.

"Kenyataannya, banyak sekali kedutaan besar yang memiliki IT budget yang sangat rendah. Hal ini berdampak saat kita sedang negosiasi jadi terhambat, koneksi terputus. Tentu ini mengurangi wibawa dari seseorang saat harus berada secara virtual," jelas Adib.

Dirinya pun sudah berkali-kali merasakan rapat penting antarbangsa di PBB yang dilaksanakan secara virtual selama pandemi. Salah satunya Ia memberi contoh pada Preferential Trade Agreement Indonesia-Tunisia.

"Pada saat itu Tunisia sangat keras sekali pada tarif-tarif Indonesia.  Tapi dengan adanya pandemi, kasarannya mereka lebih banyak menyerahnya dengan Indonesia. Mungkin karena mereka merasa ribet sekali yang negosiasi dengan virtual. Di sini terlihat Indonesia dengan kapasitas IT yang lebih baik," ungkap Adib. (OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya