DATA penyandang disabilitas yang komprehensif harus segera diwujudkan agar penanganan berbagai masalah yang dihadapi para penyandang disabilitas dapat segera diatasi.
"Persoalan yang perlu diselesaikan dalam waktu dekat ini yaitu data penyandang disabilitas yang belum terkonfirmasi dengan baik," kata Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Sistem Pendataan Nasional yang Terintegrasi sebagai Tindak Lanjut Implementasi dari UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (2/12).
Diskusi yang digelar dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional itu menghadirkan Angkie Yudistia (Staf Khusus Presiden), Dr Vivi Yulaswati MSc (Staf Ahli Menteri PPN Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan), Harry Hikmat (Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemensos), dan Nurul Saadah Andriani SH MH (Direktur Sentra Advokasi Perempuan dan Anak Disabilitas/SAPDA) sebagai narasumber. Diskusi yang dimoderatori Anggiasari Puji Aryatie (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR Koordinator Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah) itu juga menghadirkan Risnawati Utami (Duta United Nation Convention on rights of People with Disabilities/UNCRPD dari Indonesia) dan Usman Kansong (Ketua Dewan Redaksi Media Group) sebagai panelis.
Menurut Lestari, pemanfaatan data secara komprehensif itu untuk kepentingan penanganan para penyandang disabilitas yang juga merupakan bagian dari warga negara. Rerie, sapaan akrab Lestari, berharap Indonesia segera memiliki data nasional penyandang disabilitas yang menggambarkan keseluruhan populasi dengan ragam disabilitas, dan karakteristik dari masing-masing disabilitas.
Apalagi, jelas legislator Partai NasDem itu, saat ini sudah ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaran, dan Evaluasi terhadap Penghormatan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Salah satu poin dari PP tersebut yaitu ketersediaan data nasional disabilitas.
Staf Khusus Presiden, Angkie Yudistia, mengungkapkan saat ini pemerintah sudah memiliki aturan-aturan turunan sebagai petunjuk pelaksanaan agar undang-undang tentang penyandang disabilitas bisa segera operasional.
Staf Ahli Menteri PPN/Kepala Bappenas bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Vivi Yulaswati mengungkapkan, saat ini pemerintah sedang berupaya mewujudkan data penyandang disabilitas yang terintegrasi. Pada 2021 hingga 2024, pihaknya akan melakukan pendataan dalam skala besar untuk melengkapi data terpadu terkait kesejahteraan sosial. Dengan demikian, civil registry akan dilengkapi dengan social registry.
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemensos Harry Hikmat berpendapat, untuk melakukan pendataan harus ada harmonisasi terhadap beberapa peraturan yang ada. Pada UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, jelas Harry, memang mendorong para penyandang disabilitas untuk melakukan keterbukaan.
Sementara di tengah masyarakat, tambah Harry, masih ada kecenderungan untuk menutupi kondisi keluarganya yang penyandang disabilitas, karena dianggap sebagai aib keluarga. Demikian juga, dalam sejumlah peraturan masih ada penggunaan istilah yang berbeda untuk menyebutkan para penyandang disabilitas.
Pada proses pendataan penduduk misalnya, tambah Harry, masih menggunakan istilah cacat untuk penyandang disabilitas. Padahal UU Nomor 8 Tahun 2016 mengamanatkan penggunaan istilah disabilitas yang terdiri dari disabilitas fisik, mental, intelektual, dan sosial.
Itu berarti, jelas Harry, perlu kolaborasi yang baik dan terukur antara Bappenas, BPS, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Sosial dalam proses pendataan penduduk yang juga akan mendata para penyandang disabilitas. Harry mengungkapkan, dengan kolaborasi yang baik sejumlah institusi tersebut di masa datang pemberlakuan KTP-el dan kartu keluarga khusus penyandang disabilitas bisa direalisasikan.
Direktur Sentra Advokasi Perempuan dan Anak Disabilitas Nurul Saadah Andriani menilai sistem pendataan penyandang disabilitas yang ada saat ini tumpang tindih. Data penyandang disabilitas misalnya, menurut Nurul, dimiliki dinas sosial di sejumlah daerah, kabupaten, dan kotamadya.
Data penyandang disabilitas, ujarnya, juga dimiliki Kementerian Perempuan dan Anak. Bahkan di tingkat desa, ungkap Nurul, di sejumlah provinsi juga mendata para penyandang disabilitas. Sangat disayangkan, jelasnya, data penyandang disabilitas tidak sinkron antar institusi tersebut, karena dasar pendataannya tidak sama. (RO/OL-14)