Berdasarkan data kasus harian yang dihimpun Kementerian Kesehatan, kasus kematian akibat covid-19 di Jawa Timur mencapai angka 7,3% dari keseluruhan kasus positif. Angka tersebut berada di atas rerata nasional yakni 4%.
Melihat hal itu, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko mengungkapkan, tingginya angka kematian di Jawa Timur disebabkan oleh kurangnya pemeriksaan yang dilakukan.
"Itu artinya tesnya kurang. Contohnya bogor pernah case fatality rate-nya 17% di awal-awal. Kenapa? Lalu akhirnya coba tesnya diperbanyak, ketemu kasus lebuh banyak, dan CFR turun, dari 17% jadi 6%," kata Miko kepada Media Indonesia, Minggu (13/9).
Baca juga: Menara 4 Wisma Atlet Kemayoran Segera Siap untuk Isolasi
Miko mengungkapkan, minimnya pemeriksaan menyebabkan hanya kasus berat yang terdeteksi. Karenanya, kasus kematiannya akan menjadi lebih banyak.
Karena kasus berat pasti dilaporkan oleh masyarakat. Kalau kasus ringan gak akan ketangkap kalau tesnya gak diperbanyak," ujarnya.
Untuk itu, guna menurunkan CFR, dirinya menilai pemerintah harus memperbanyak tes covid-19 guna menemukan lebih banyak kasus dan menekan angka penyebaran.
"Harus perbanyak tes. Kalau pelayanan gak bisa diapa-apain," tandasnya.
Dihubungi terpisah, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Daniel Wibowo mengungkapkan, dilihat dari kesiapan fasilitas kesehatan, Jawa Timur memiliki kapasitas yang baik.
"Jawa Timur memiliki lebih dari 300 rumah sakit. Seharusnya sudah cukup. Untuk tingginya angka kematian Jatim belum jelas sebabnya, karena kurangnya ICU atau terlalu banyaknya kasus yang datang terlambat," ungkapnya.
Untuk diketahui, berdasarkan data Kementerian Kesehatan hingga Sabtu (12/9), pemeriksaan PCR di Jawa Timur yakni sebanyak 181.455. Dari angka tersebut didapatkan simpulan bahwa Jawa Timur memeriksa 480 spesimen per satu juta penduduk setiap minggunya. Angka tersebut masih lebih rendah dibanding standar WHO, yakni 1.000/ 1 juta penduduk. (H-3)