Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Penyegelan pembangunan makam kelompok adat Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat, mencerminkan masih rendahnya toleransi beragama di Indonesia. Padahal, menurut Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Musdah Mulia, konstitusi Indonesia merangkum semua kelompok agama dan kepercayaan yang tumbuh dan berkembang di Tanah Air.
"Karena itulah kita mengedepankan ideologi Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa. Para founding fathers dan mothers mencari kalimat yang bisa mempersatukan kita dengan memilih kata Ketuhanan tidak menyebut kata agama sedikit pun," ungkapnya dalam sebuah diskusi virtual Kebebasan Beragama: Mitos atau Fakta? yang diselenggarakan Muslimah Reformis Foundation, Jumat (24/7).
Baca juga: Kemendikbud-Huawei Teken Kerja Sama Transformasi Digital
"Kata Ketuhanan itu pada semua agama dan kepercayaan bisa masuk. Menurut saya Ketuhanan itu menyimpulkan nilai-nilai spiritual yang harus dikembangkan," imbuh Musdah.
Dia juga menyoroti kecenderungan sikap aparat yang lebih berpihak terhadap pandangan mayoritas. Menurutnya, aparat sebagai perwakilan negara harus memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok yang mengalami diskriminasi.
Aparat keamanan, lanjutnya, justru lebih banyak mengekang kelompok-kelompok minoritas yang harusnya mempunyai hak untuk mengekspresikan keagamaan mereka.
"Tapi karena mereka terbelenggu oleh kekuatan mayoritas, bukannya memberikan pemahaman kepada mayoritas untuk tidak berbuat anarkis, justru malah yang disuruh mengalah adalah kelompok minoritas seperti kasus yang sekarang terjadi di Kuningan," jelas Musdah.
"Yang dilarang justru kelompok Sunda Wiwitan untuk tidak melanjutkan pembangunan makam. Harusnya negara atau aparat memberikan penjelasan kepada mayoritas, tidak apa-apa mereka melakukan ini karena itu hak mereka," katanya.
Musdah pun menjelaskan beberapa hal yang menyebabkan hambatan di dalam kebebasan beragama diIndonesia. Antara lain menguatnya doktrin keagamaan yang bersifat otoritarian.
Menurutnya, doktrin-doktrin keagamaan yang bersifat otoritarian ini menguat setelah memasuki era reformasi 1998. Kelompok-kelompok intoleran ini mengunakan ruang demokrasi untuk tujuan-tujuan yang tidak demokratis.
"Kita tentu tidak setuju dengan zaman Soeharto yang mengekang kebebasan termasuk kebebasan beragama. Namun kemudian setelah keran demokrasi dibuka, semua orang menggunakan kesempatan atau space ini untuk menyampaikan opini mereka, termasuk kelompok-kelompok yang opininya berseberangan dengan prinsip-prinsip demokrasi," tuturnya.
Musdah mendorong organisasi-organisasi keagamaan besar yang moderat seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama untuk lebih menggencarkan pandangan-pandangannya sampai ke level akar rumput masyarakat Indonesia.
"Sayangnya pandangan-pandangan dari kedua organisasi besar ini tidak menjadi pandangan yang mainstream di masyarakat. Pandangan keagamaan yang dianut oleh masyarakat mayoritas yang menjadi mainstream di masyarakat kita adalah pandangan-pandangan yang masih eksklusif, masih konservatif," jelas Musdah.
"Dan itu tidak mendukung bagi upaya-upaya membangun demokrasi dan membangun kebebasan beragama di Indonesia," pungkasnya. (H-3)
Seruan ini adalah bentuk keprihatinan sivitas akademika dan alumni Unpad atas kondisi bangsa dan kondisi demokrasi yang merugikan rakyat.
Tindakan cawe-cawe serta penyalahgunaan kekuasan dalam Pemilu 2024 merupakan tindakan tidak terhormat
pilkada langsung harus dipertahankan karena melibatkan masyarakat dalam memilih pemimpin
PUASA Ramadan identik dengan wadah pembentukan kepribadian. Ia tidak sebatas ritual tahunan yang tata pelaksanaannya sudah jelas dan selalu diulang setiap tahunnya.
TURUNNYA kualitas demokrasi Indonesia tidak lepas dari rendahnya sikap saling percaya (trust) di kalangan komponen bangsa.
WAKTU pemilihan presiden/wakil presiden dan anggota legislatif tinggal tiga minggu lagi.
FPHW secara tegas menolak berkembangnya organisasi masyarakat yang teridentifikasi dan menganut paham intoleransi, radikalisme dan terorisme.
DKI Jakarta menduduki peringkat kedua untuk perisitiwa intoleran dalam kurun 12 tahun terakhir di belakang Jawa Barat.
Athoilah mengatakan pembangunan musala itu sudah memenuhi persyaratan sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2016.
Mantan staf Basuki Tjahaja Purnama ini menegaskan, sikapnya tak akan berubah jika kasus serupa terjadi pada agama lain.
Dalam menjalankan misi untuk merekrut para generasi muda, kelompok radikal ini sering kali memanipulasi, mendistorsi, dan memolitisasi agama.
Ujaran kebencian sejatinya juga menjadi pintu masuk perilaku radikal dan terorisme yang telah terbukti merusak dan menghancurkan kehidupan dan peradaban manusia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved