Penyegelan Makam Sunda Wiwitan, Ketua ICRP: Aparat Berpihak

Ihfa Firdausya
24/7/2020 17:55
Penyegelan Makam Sunda Wiwitan, Ketua ICRP: Aparat Berpihak
Tugu batu sebagai penanda akan dibangunnya pasarean atau pemakaman untuk sesepuh masyarakat AKUR Sunda Wiwitan, Minggu (19/7).(MI/NURUL HIDAYAH)

Penyegelan pembangunan makam kelompok adat Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat, mencerminkan masih rendahnya toleransi beragama di Indonesia. Padahal, menurut Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Musdah Mulia, konstitusi Indonesia merangkum semua kelompok agama dan kepercayaan yang tumbuh dan berkembang di Tanah Air.

"Karena itulah kita mengedepankan ideologi Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa. Para founding fathers dan mothers mencari kalimat yang bisa mempersatukan kita dengan memilih kata Ketuhanan tidak menyebut kata agama sedikit pun," ungkapnya dalam sebuah diskusi virtual Kebebasan Beragama: Mitos atau Fakta? yang diselenggarakan Muslimah Reformis Foundation, Jumat (24/7).

Baca juga: Kemendikbud-Huawei Teken Kerja Sama Transformasi Digital

"Kata Ketuhanan itu pada semua agama dan kepercayaan bisa masuk. Menurut saya Ketuhanan itu menyimpulkan nilai-nilai spiritual yang harus dikembangkan," imbuh Musdah.

Dia juga menyoroti kecenderungan sikap aparat yang lebih berpihak terhadap pandangan mayoritas. Menurutnya, aparat sebagai perwakilan negara harus memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok yang mengalami diskriminasi.

Aparat keamanan, lanjutnya, justru lebih banyak mengekang kelompok-kelompok minoritas yang harusnya mempunyai hak untuk mengekspresikan keagamaan mereka.

"Tapi karena mereka terbelenggu oleh kekuatan mayoritas, bukannya memberikan pemahaman kepada mayoritas untuk tidak berbuat anarkis, justru malah yang disuruh mengalah adalah kelompok minoritas seperti kasus yang sekarang terjadi di Kuningan," jelas Musdah.

"Yang dilarang justru kelompok Sunda Wiwitan untuk tidak melanjutkan pembangunan makam. Harusnya negara atau aparat memberikan penjelasan kepada mayoritas, tidak apa-apa mereka melakukan ini karena itu hak mereka," katanya.

Musdah pun menjelaskan beberapa hal yang menyebabkan hambatan di dalam kebebasan beragama diIndonesia. Antara lain menguatnya doktrin keagamaan yang bersifat otoritarian.

Menurutnya, doktrin-doktrin keagamaan yang bersifat otoritarian ini menguat setelah memasuki era reformasi 1998. Kelompok-kelompok intoleran ini mengunakan ruang demokrasi untuk tujuan-tujuan yang tidak demokratis.

"Kita tentu tidak setuju dengan zaman Soeharto yang mengekang kebebasan termasuk kebebasan beragama. Namun kemudian setelah keran demokrasi dibuka, semua orang menggunakan kesempatan atau space ini untuk menyampaikan opini mereka, termasuk kelompok-kelompok yang opininya berseberangan dengan prinsip-prinsip demokrasi," tuturnya.

Musdah mendorong organisasi-organisasi keagamaan besar yang moderat seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama untuk lebih menggencarkan pandangan-pandangannya sampai ke level akar rumput masyarakat Indonesia.

"Sayangnya pandangan-pandangan dari kedua organisasi besar ini tidak menjadi pandangan yang mainstream di masyarakat. Pandangan keagamaan yang dianut oleh masyarakat mayoritas yang menjadi mainstream di masyarakat kita adalah pandangan-pandangan yang masih eksklusif, masih konservatif," jelas Musdah.

"Dan itu tidak mendukung bagi upaya-upaya membangun demokrasi dan membangun kebebasan beragama di Indonesia," pungkasnya. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : HUMANIORA
Berita Lainnya