Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Transportasi Multimoda, Solusi Angkutan Perjalanan saat Pandemi

Zubaedah Hanum
15/7/2020 13:05
Transportasi Multimoda, Solusi Angkutan Perjalanan saat Pandemi
Kereta api commuter line jabodetabek menjadi salah satu alternatif angkutan penumpang di masa pandemi.(Antara)

KETUA Program Studi Magister dan Doktor Perencanaan Wilayah dan Kota dari Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB) Ibnu Syabri Phd mengusulkan transportasi multimoda sebagai solusi angkutan perjalanan di masa wabah.

Menurutnya, penggabungan beberapa moda transportasi dalam satu sistem yang utuh memiliki dampak positif berupa pengurangan biaya, peningkatan kinerja, peningkatan permintaan, dan keamanan.

Hal itu dilontarkannya dalam webinar bertema 'Pengelolaan Permintaan Perjalanan dan Right Sizing Angkutan Perjalanan Selama dan Pasca-Pandemi', belum lama ini. "Dalam hal ini perlu dilakukan integrasi dalam sektor transportasi dari mulai moda, tarif, jadwal, dan manajemen," katanya seperti dilansir dari laman resmi ITB, Rabu (15/7).

Mengutip Wikipedia, transportasi multimoda adalah transportasi barang di bawah satu kontrak, tetapi dilakukan dengan setidaknya dua moda transportasi yang berbeda; pembawa bertanggung jawab atas seluruh gerbong, meskipun dilakukan oleh beberapa moda transportasi yang berbeda.

Seperti diketahui, pandemi covid-19 menuntut penyesuaian pada kebijakan, perencanaan, dan perancangan terutama pada sektor transportasi sebagai salah satu sektor yang terdampak pada masa ini. Pemetaan dan evaluasi terhadap kebijakan pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah penting dilakukan.

Doktor Miming Miharja dari Kelompok Keahlian Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota SAPPK menyebutkan, ada dua perspektif dalam mengendalikan pergerakan orang.

Pertama, adalah kelompok orang yang melakukan pergerakan karena alasan penting tertentu, sehingga pergerakan kelompok ini hanya dapat ditekan dengan law enforcement berupa pembatasan perjalanan. Kelompok kedua adalah orang yang melakukan pergerakan secara sukarela. Pergerakan kelompok ini dapat diatasi dengan public campaign.

Merujuk pada The Theory of Planned Behavior dalam menganalisis hasil survei daring yang sudah dilakukan, Doktor Miming mendapatkan kesimpulan bahwa faktor perilaku merupakan faktor utama yang menahan responden untuk tidak melakukan pergerakan.

"Sebagian besar masyarakat sudah paham mengenai bahaya penularan covid-19 sehingga efek dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dapat dikatakan cukup berhasil," ujarnya.

Namun, Ketua Program Studi Magister dan Doktor Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK ITB, Doktor Djarot Tri Wardhono mengkhawatirkan hasil riset tersebut tidak cukup representatif bagi kalangan menengah ke bawah.

"Pengguna KRL yang tidak memiliki telepon pintar mengaku bahwa mereka melakukan pergerakan karena terpaksa. Mayoritas kalangan ini memiliki pekerjaan lepas dengan upah harian, sehingga jika tidak melakukan pergerakan di hari tersebut, kebutuhan hidup tidak dapat terpenuhi," sergahnya.

Adanya pengguna yang “captive” seperti ini, imbuh Djarot, makin menambah urgensi dilakukannya right sizing (perampingan) moda transportasi demi terbentuknya sistem pelayanan transportasi publik yang lebih tegar (sustain).

Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek Polana Banguningsih Pramesti mengakui terdapat kegagalan yang terjadi pada awal penerapan PSBB. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan transportasi yang tidak diatur dengan baik, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan transportasi yang memicu terjadinya kepadatan di beberapa tempat.

Menurut Polana, right-sizing yang dilakukan akan efektif jika dikombinasikan dengan manajemen pengurangan pergerakan. Upaya yang dapat dilakukan adalah berupa pengaturan jam kerja, pembatasan pergerakan dengan tujuan yang kurang penting, dan lain-lain.

“Dalam mengatur demand, kami menggunakan kebijakan push and pull. Di mana ‘push’ adalah mendorong masyarakat untuk menggunakan transportasi umum dan ‘pull’ agar masyarakat mengurangi pemakaian kendaraan pribadi,” urai Polana.

Ia melanjutkan, tidak sedikit perusahaan di sektor transportasi yang mengalami kerugian akibat pandemi ini. Kenaikan traffic juga terlihat karena banyak masyarakat yang sudah beralih untuk menggunakan transportasi pribadi.

Oleh karena itu, kata Polana, saat ini pemerintah sedang berupaya dalam mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat untuk menggunakan transportasi umum dengan menyediakan fasilitas yang memadai baik dari aspek kesehatan maupun keamanan.

Di akhir sesi, Ibnu Syabri mengingatkan, perancangan pelayanan transportasi umum seharusnya memberikan kemudahan bagi pelaku perjalanan dan bukan bersifat membatasi. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum
Berita Lainnya