Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Tak Hanya Urai Kemacetan, Penerapan ERP di Jakarta Ujian Keberanian Politik Pramono - Rano

Mohamad Farhan Zhuhri
19/7/2025 15:09
Tak Hanya Urai Kemacetan, Penerapan ERP di Jakarta Ujian Keberanian Politik Pramono - Rano
Ilustrasi: kendaraan memadati ruas Jalan Sudirman, Jakarta(MI/Usman Iskandar)

PEMERINTAH Provinsi DKI Jakarta berencana menerapkan kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) atau sistem pengendalian kendaraan berbasis tarif jalan. Namun hal tersebut nampaknya tidak akan beroperasi dalam waktu dekat. 

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Yusa Cahya Permana mengungkap ERP lebih dari sekadar sistem elektronik, menurutnya ERP adalah ujian keberanian politik. Keberanian politik yang dimaksud adalah, apakah Jakarta dalam hal ini kepemimpinan Pramono Anung-Rano Karno sungguh-sungguh berani berpihak kepada warganya yang berjalan kaki, bersepeda, dan naik angkutan umum

“ERP itu bukan soal sensor atau gantri, ini soal keberpihakan ruang. Apakah jalan raya hanya untuk mobil pribadi, atau untuk semua warga kota," ujar Yusa melalui keterangan, Sabtu (19/7).

Yusa menerangkan, keberhasilan ERP bukan pada hitungan rupiah dari pungutan, melainkan dari seberapa kuat pemimpin Jakarta bisa membangun konsensus politik, menjaga integritas sistem, dan menolak intervensi pragmatis yang bisa membelokkan arah kebijakan.

Pengalaman kota-kota besar dunia jadi pelajaran penting. Di New York, congestion pricing atau tarif kemacetan butuh tiga dekade perdebatan politik hingga akhirnya diterapkan. Jakarta pun bisa mengalami nasib serupa bila tak memiliki keberanian dan komunikasi publik yang kuat.

“ERP ini akan menguji siapa pemimpin kota yang sungguh berpikir lintas waktu, bukan hanya lintas jabatan,” tegas MTI.

Jangan Berbasis Koridor, Terapkan Kawasan ERP 

Wacana penerapan ERP yakni berbasis koridor jalan utama. Hal tersebut mendapat kritik keras salah satunya Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI). Ketua MTI, Yusa Cahya Permana menyebut skema itu justru kontraproduktif dan berpotensi memindahkan kemacetan ke jalan-jalan alternatif di sekitar.

“Kalau hanya diterapkan di satu koridor, ERP itu ibarat menutup satu keran lalu membiarkan air meluap dari saluran lain. Tidak menyelesaikan akar masalah,” kata dia. 

Ia menekankan bahwa ERP semestinya diterapkan berbasis kawasan, terutama wilayah yang sudah dilayani angkutan umum massal. 

Dengan demikian, perpindahan moda transportasi dapat dimaksimalkan dan tekanan terhadap jalan raya bisa benar-benar ditekan.

Jika pun Pemprov ingin memulai dari skema koridor, MTI mendesak agar dikombinasikan dengan sistem Intelligent Traffic Control System (ITCS) dan penegakan hukum lalu lintas elektronik (ETLE), agar distribusi kendaraan bisa tetap terkendali di luar area ERP.

“ERP koridor hanya boleh jadi batu loncatan, bukan ujung kebijakan. Kalau tidak, kita hanya akan memindahkan titik macet, bukan menguranginya,” tandas Yusa.

MTI pun mengingatkan agar pemilihan teknologi ERP dilakukan secara hati-hati oleh lembaga negara yang kredibel, bukan sekadar oleh vendor atau kepentingan bisnis semata. Sebab, masa depan lalu lintas Jakarta tak bisa digadaikan pada proyek jangka pendek. (Far/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya