Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
POTENSI penggunaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebagai sumber energi terbarukan di Indonesia belum maksimal dimanfaatkan. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2016 menunjukkan potensi energi surya di Indonesia diperkirakan 207.898 Megawatt (MW), paling besar jika dibandingkan dengan energi terbarukan yang dimiliki negara ini antara lain air 75.091 MW, angin 60.647MW dan panas bumi 29.544 MW. Meski demikian, potensi itu belum terealisasi karena salah satu tantangan investasi PLTS ialah biaya yang cukup besar.
"Indonesia dan Malaysia masih menyubsidi listrik yang sumbernya dari batu bara dan gas, padahal industri PLTS ini sudah termasuk kompetitif bisa dijalankan tanpa subsidi dan dari segi lingkungan dapat mengurangi jejak karbon yang berdampak pada perubahan iklim," ujar Managing Director Xurya Eka Himawan dalam acara lokakarya media mengenai energi terbarukan yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Lembaga Swadaya Masyarakat Hivos yang berlangsung pada Jumat (6/12) hingga Minggu (8/12).
Menurut Eka, kapasitas PLTS atau solar panel yang sudah terinstal baru 78,5 MW atau pemanfaatan 0,04% dari total potensi yang ada. Disampaikannya, investor akan tertarik mengembangkan PLTS di Indonesia apabila harganya bersaing. Sejauh ini, pemasangan instalasi energi surya di Indonesia, terang Eka, banyak dimanfaatkan oleh industri atau pengguna listrik surya atap (solar rooftop) tapi belum secara masif digunakan.
Berdasarkan Undang-Undang No. 30/2007 tentang Energi bahwa Indonesia menargetkan bauran energi dari terbarukan sebesar 23% pada 2023. Ia pun mengatakan PLTS penting untuk dipertimbangkan sebagai salah satu sumber energi terbarukan pada masa mendatang untuk keberlanjutan energi ketika batu bara dan gas habis.
"PLTS sangat potensial di Indonesia karena terletak di garis ekuator sehingga sinar matahari cenderung konstan didapatkan," ucapnya.
Pemerintah, lanjut Eka, sudah memberikan ruang dalam Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN, ada nilai keekonomisan yang bisa didapat para pengguna. Beleid yang diterbitkan 15 November 2018 tersebut menyebutkan penghitungan nilai kilo watt per hour (kWh) ekspor-impor yang dikali 65% atau senilai 0,65.
"Semakin banyak permintaan pembangkit listrik surya atap, instalasinya semakin murah," tuturnya.
Baca juga: UNS Rintis Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Pacitan
Biaya investasi untuk pemasangan PLTS Atap, imbuhnya, berada dikisaran Rp12-14 juta per kilo watt peak. Ada perbedaan nilai investasi antara sistem panel surya yang inverter On Grid yang dikombinasikan dengan suplai litrik dari PLN dengan off grid.
Untuk sistem off grid atau 100% tidak menggunakan listrik dari PLN, ada investasi tambahan yang harus dikeluarkan karena penggunaan baterai lithium yang masih impor karena pabriknya belum ada di Indonesia.
Sementara itu, Guru Besar Teknik Elekto dari Universitas Trisakti Prof. Syamsir Abduh yang sempat menjadi anggota Dewan Energi Nasional menuturkan persoalan harga menjadi tantangan energi terbarukan tidak jalan di Indonesia. Energi terbarukan, kata dia, masih dianggap mahal.
"Kalau harga lebih mahal, pemerintah wajib menyubsidi tidak ada alasan. Energi terbarukan memang saat ini lebih mahal dari energi fosil, tapi ongkos lingkungannya tidak diperhitungkan," tegasnya.
Sementara itu, Chairman Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Surya Darma menjelaskan perkembangan energi terbarukan di Indonesia cenderung stagnan sebab dari segi pendanaan untuk investasi dan sumber daya manusia yang mampu mengembangkannya masih terbatas.
Saat ini, dipaparkannya bauran energi secara nasional masih didominasi batu bara (64%). Sedangkan energi terbarukan 7 hingga 8% dari total bauran energi nasional. Sementara pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050.
Target ini dipandang ambisius. Apabila pemerintah hanya bergantung dari dana riset yang nilainya 0,001% maka teknologi untuk pemanfaatan dan pengembangan energi terbarukan sulit terealisasi. Pasalnya, diperkirakan dibutuhkan investasi sebesar 98 juta USD untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
"Energi terbarukan masih baru dimanfaatkan dalam skala kecil. Padahal dalam pengembangannya bisa menggunakan potensi setempat seperti angin, tenaga air dengan mikrohidro, atau panel surya dari matahari untuk mengaliri listrik ke wilayah yang belum terjangkau PLN," tukasnya.(OL-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved