Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
MEDIA sosial (medsos) dengan berbagai fenomenanya terus menimbulkan kehebohan di masyarakat. Belum adanya aturan main yang tegas, menjadikan medsos tetap menjadi bola liar yang bergerak bebas dengan berbagai ekses, baik positif maupun negatif.
Medsos pula yang membuat proses pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2019 menjadi 'gaduh' dengan hoaks, adu domba, ujaran kebencian. Terakhir kasus bom bunuh dirih di Pos Polisi Kartasura dua hari sebelum hari raya Idul Fitri, dimana pelakunya teradikalisasi secara daring (online).
"Radikalisasi secara online itu sebenarnya bukan fenomena baru. Dulu ada kasus Alam Sutra dan penyerangan gereja di Medan. Itu termasuk self radicalization," ujar Staf Ahli Menkopolhukam Dr. Sri Yunanto di Jakarta, Selasa (11/6).
Selain itu, ungkap Yunanto, dalam banyak diskusi publik dan kejadian terorisme, juga terungkap keberadaan lone wolf (aksi terorisme yang dilakukan sendirian). Tapi, itu juga sulit dibilang lone wolf, karena bisa jadi mereka lebih dulu terkait jaringan JAD atau JAKD, baru kemudian terjadi radikalisasi melalui online.
Menyikapi radikalisasi via internet atau medsos ini, lanjut Yunanto, pemerintah tidak bisa sendirian mengatasinya. Pasalnya, perkembangan media daring imerupakan bagian dari kebebasan media melalui internet yang faktanya tidak hanya membawa pengaruh baik, tetapi juga pengaruh buruk seperti pornografi, perjudian, dan terorisme.
"Inilah masalahnya karena yang menanggung beban negatif itu pemerintah, sementara penyedia platform enak-enak saja.
Seperti di Youtube, kalau tayangannya banyak dapat iklan pasti mereka untung, sementara kalau ada konten tentang radikalisasi ini mereka cuci tangan, baru pemerintah yang take down," ungkap pakar politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia ini.
Ke depan, lanjut Yunanto, masalah ini harus jadi agenda bersama untuk mengatasinya. Pertama bagaimana mengatasi kebebasan medsos, yang kontrolnya dibawah pemerintah dengan tetap bekerjasama dengan provider penyedia platform.
Ia mencontohkan, di Jerman platform yang memuat konten negatif bisa kena denda sampai Rp6 miliar. Dan itu cukup efektif untuk mengerem keberadaan konten-konten negatif, terutama terorisme.
"Artinya, kalau platform tetap seenaknya dengan tidak melakukan screening, mereka pasti akan bangkrut kena denda.Saya rasa cara itu bisa diterapkan di Indonesia," tuturnya.
Baca juga: Kehadiran ASN di Hari Pertama Kerja Usai Lebaran Meningkat
Menurutnya, langkah ini harus menjadi agenda bersama misalnya apakah UU ITE yang direvisi atau dibuat Peraturan Pemerintah. Pasalnya, kalau tidak begitu, medsos akan menjadi tempat penyebaran konten negatif yang provokatif terutama radikalisasi.
Yunanto menilai, apa yang telah dilakukan pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan melakukan banyak take down atau penutupan website sifatnya hanya reaktif saja dan terkesan sering ketinggalan. Misalnya, yang di-take down 10 website, yang muncul 100 website lagi.
"Kalau terus begini kita pasti keteter. Baiknya masyarakat berani mengeluarkan ide dan mengajak para politikus untuk membuat terobosan. Soalnya kalau yang melakukan pemerintah, pasti dituduh macam-macam. Intinya sekarang penyedia platform harus punya tanggung jawab," tegasnya.
Ia menegaskan, bila penyedia platform bersedia melakukan screening terhadap konten-konten mereka, tentu itu akan lebih memudahkan dalam mewaspadai radikalisasi melalui medsos ini. Dengan demikian, pemerintah sebagai regulator harus bisa memperkuat, apalagi sudah ada fatwa Majelis Ulama Indonesia soal tata cara bermedsos yang bijak.
"Kalau tiga-tiganya bersinergi insya Allah bisa kita tekan cyber crime termasuk extraordinary crime berupa Ideologisasi, radikalisasi, dan berbagai hal negatif di medsos," pungkas Yunanto. (OL-1)
Pencegahan tidak hanya dilakukan dari sisi keamanan tapi juga harus bisa memanfaatkan teknologi IT
Gubernur Khofifah dan BNPT RI berkomitmen tanamkan moderasi beragama sejak dini di sekolah untuk cegah radikalisme. Jatim perkuat sinergi pusat-daerah.
BADAN Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Komisi XIII DPR RI terus memperkuat upaya pencegahan radikalisme dan terorisme.
EKS narapidana terorisme (napiter) Haris Amir Falah mengungkapkan desa sering menjadi sasaran utama kelompok radikal dalam merekrut anggota baru.
Saat ini kita harus mendukung kebijakan pemerintah dalam memperkuat langkah strategis mengatasi radikalisme.
Program berupa pelatihan kewirausahaan berbasis perempuan ini merupakan wujud women empowerement di sisi lingkup yang lebih luas dan berkelompok.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved