Headline
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
PROGRAM perhutanan sosial yang dijalankan pemerintah terbukti meningkatkan ekonomi masyarakat dan tutupan hutan. Hal itu menjadi kesimpulan hasil penelitian bertajuk Dampak Perhutanan Sosial yang diluncurkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dari hasil riset, diketahui rata-rata pendapatan petani yang mengelola perhutanan sosial sebesar Rp28,3 juta selama satu tahun. Jika dihitung per kapita, pendapatan para petani sekitar Rp700 ribu/bulan. Angka itu berada di atas batas garis kemiskinan yang ditetapkan Badan Pusat Statistik Rp401.220/kapita/bulan.
"Secara ekonomi, rata-rata pendapatan masyarakat tani yang mendapat izin perhutanan sosial melebihi batas garis kemiskinan," ungkap pemimpin riset yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Mudrajad Kuncoro, pada peluncuran hasil penelitian itu, di Jakarta, kemarin.
Riset dilakukan tim peneliti tahun lalu pada kelompok perhutanan sosial skema hutan kemasyarakatan (Hkm) di Kabupaten Tanggamus, Lampung, serta di Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.
Baca Juga: Kehidupan Awal Bumi di Perairan Dangkal
Menurut Mudrajad, dengan diberi hak mengelola hutan, anggota kelompok tani mempunyai kepastian pendapatan dari komoditas yang ditanam. Hal itu juga berkat peran pendamping yang membantu pengembangan usaha dan akses pasar serta modal.
"Kehadiran pendamping yang mengajari pengelolaan komoditas dan menghubungkan dengan pembeli membuat hasil produksi mereka memiliki kepastian pasar. Sebagian besar masyarakat mengakui peran pendamping amat penting," imbuhnya.
Tutupan hutan bertambah
Dari aspek kelestarian lingkungan, hasil riset itu juga menyatakan perhutanan sosial menambah tutupan hutan. Pada Hkm Kalibiru di Kulon Progo yang dikelola sebagai desa wisata, misalnya, masyarakat menanam tanaman keras untuk menghijaukan lahan.
Pada 2009-2014 terjadi perubahan dari lahan pertanian kering sekunder menjadi hutan lahan kering sekunder di Hkm tersebut. Tercatat, di 2016, luas hutan lahan kering sekunder yang sebelumnya nihil berkembang menjadi 113,77 hektare. Berdasarkan perubahan tutupan lahan tersebut, diketahui cadangan karbon bertambah menjadi sebesar 9.698,89 ton CO2e.
"Masyarakat menjadi terlibat menjaga rimba sembari mengelola lahan hak mereka," ujar Mudrajad.Hingga saat ini luasan hutan sosial mencapai 2,61 juta hektare yang izin pengelolaannya diberikan pada 5.572 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).
Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Supriyanto meyakini pendampingan yang optimal kepada masyarakat penerima izin bisa lebih mengangkat kesejahteraan masyarakat."Kuncinya pendampingan. Hasil riset ini memperlihatkan pendampingan kepada kelompok tani bisa memaksimalkan usaha mereka," ucap Bambang. (H-2)
Dekan Fakultas Kehutanan Instiper Yogyakarta, Rawana menilai, program Perhutanan Sosial bisa berkontribusi positif bagi ekonomi masyarakat, tapi masih punya banyak PR.
Program Perhutanan Sosial di Kabupaten Solok Selatan telah melahirkan 33 unit Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang bergerak di berbagai sektor.
Menhut Raja Antoni menegaskan bahwa Perhutanan Sosial kembali ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh Presiden Prabowo Subianto.
Menhut Raja Juli Antoni bersama Pimpinan Komisi IV DPR RI Siti Hediati Soeharto melakukan pelepasan ekspor perdana Kopi dari KUPS.
Diketahui sekitar 8,3 juta Ha hutan dikelola masyarakat. Namun 91% KUPS masih belum produktif secara ekonomi.
JURU Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Refki Saputra mengatakan untuk mengoptimalkan program perhutanan sosial diperlukan kolaborasi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved