Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Wawancara Habibi Funk: Antara Genre, Label, dan Sikap atas Palestina

Fathurrozak
28/11/2024 14:45
Wawancara Habibi Funk: Antara Genre, Label, dan Sikap atas Palestina
Disjoki (Dj) bernama Jannis Stürtz.(Dok. MI)

Pernah mendengar musik yang dimainkan grup band asal Indonesia, Ali? Musiknya terdengar kental dengan nuansa rock, psikedelik, tetapi juga punya langgam khas Arab. Lagu Dance, Habibi yang jadi rilisan paling awal band tersebut bahkan bisa didefinisikan punya tarikan napas dengan genre habibi funk, sebuah genre musik yang menggabungkan warisan musik tradisi negara-negara Arab dengan pengaruhnya dari genre lain, seperti funk, jazz, dan rock psikedelik.

Habibi funk, kini mungkin telah menjadi nama yang dirujuk sebagai genre, yang bisa kita temukan daftar putarnya di platform streaming digital. Namun, nama tersebut sebenarnya juga merupakan nama dari label rekaman berbasis di Berlin, Jerman, serta menjadi nama panggung dari seorang disjoki (dj) bernama Jannis Stürtz.

Saat berbincang dengan Stürtz di sela ia manggung di festival musik internasional Joyland 2024 yang terselenggara di area Lapangan Bisbol GBK pada 22–24 November, Stürtz membagikan pandangannya tentang perjalananya merilis ulang karya-karya dari para musisi Arab, popularitas genre ‘artifisial’ habibi funk, dan sikap politiknya sebagai orang Jerman terhadap genosida yang terjadi di Palestina.

“Habibi funk sebenarnya utamanya adalah label rekaman, yang kini sudah merilis ulang rilisan-rilisan dari negara-negara di Afrika Utara hingga Asia Barat, atau negara-negara Arab. Kami telah merilis beberapa rilisan dari Sudan, dan ada juga yang berasal dari Kongo, Ethiopia. Dan sebagai label rekaman, kami mencoba menjadi jembatan antara band-band ini dengan musik ini dan pendengar baru,” kisah Stürtz kepada Media Indonesia, Minggu, (24/11) di Lapangan Bisbol GBK, Jakarta.

Musik-musik yang ‘dikategorikan’ sebagai genre habibi funk, biasanya adalah musik yang punya langgam lokal negara Arab yang berbaur dengan pengaruh genre seperti jazz, funk, dan disko. Selain menjadi label rekaman yang merilis ulang karya-karya dari para musisi dunia Arab dan membawanya ke para pendengar baru, dengan memasukkannya ke platform streaming, Stürtz juga merilis karya lewat Bandcamp, agar para pemilik hak karya bisa menikmati hak ekonomi mereka. Selain itu, ia, juga menjadi DJ (disjoki), dengan nama Habibi funk yang memainkan piringan-piringan hitam dari rilisan labelnya.

“DJ itu cuma jadi salah satu cara atau pembuka pintu bagi orang-orang untuk mengenal label rekaman ini. Saya rasa terkadang ketika kamu akan bertemu dengan seseorang yang baru saja datang ke festival ini, orang tersebut mungkin menyukai musiknya, dan kemudian sebagai hasilnya, semoga orang tersebut akan mendengarkan rilisan yang kami rilis di Spotify atau membeli rekaman di Bandcamp. Jadi, jika Anda bertanya kepada saya apa yang lebih penting atau lebih relevan, jawabannya adalah label rekaman,” lanjut Stürtz yang malam itu juga menyematkan pin rajut dengan warna bendera Palestina.

Melalui Habibi funk, Stürtz ‘menjembatani’ musik-musik dari dunia Arab, juga para musisinya untuk bisa lebih didengar. Misalnya, Roger Fakhr, musisi asal Beirut, Lebanon, yang pada akhir ‘70-an ia merilis sekitar 75 kaset di Lebanon, kini ia punya 250 ribu pendengar bulanan di Spotify.  Fakhr kemudian juga manggung di London sebulan lalu, sejak 42 tahun pertama.

Habibi funk mungkin kini dikenal sebagai genre. Tapi, bagi Stürtz, ini adalah genre yang memang ‘dibuat’ baru. Karena pada dasarnya tidak satu pun dari para musisi yang masuk dalam kategorisasi genre ini, atau sebagian besar musisi dari berbagai negara, tidak memiliki hubungan.

“Namun saya pikir terkadang ketika Anda berurusan dengan musik yang tidak banyak diketahui orang, jika Anda berurusan dengan musik yang mungkin lebih ditujukan untuk orang-orang dengan selera musik tertentu, terkadang akan lebih baik jika Anda memiliki judul yang mudah diingat oleh orang-orang. Inilah, misalnya, mengapa ketika kami menaruh musik kami di Spotify, dalam tanda kurung kami selalu mencantumkan habibi funk dan nomor katalog. Karena dengan begitu, sekarang jika Anda mencari habibi funk di Spotify, Anda akan menemukan semua rilisannya.”

Nama habibi funk, dicatut Stürtz sebagai cara untuk memudahkan orang mengingat tentang musiknya. Namun, harapannya para pendengar baru bisa lebih banyak mempelajari tentang siapa saja musisi-musisi yang ada di dalamnya, seperti Kamal Keila (musisi asal Sudan), atau Issam Hejali (Lebanon).

Stürtz juga sadar, sebagai orang kulit putih dari negara Eropa, punya permasalahan sejak lama ketika merilis ulang musik-musik dari negara di luar Eropa. Bukan saja soal musik, tetapi juga ada nilai ekonomi di dalamnya. Itulah mengapa, Stürtz angat transparan dalam membagi keuntungan 50:50 antara label rekamannya dan para musisi yang karyanya dirilis ulang.

“Kami tidak memiliki musiknya, tetapi kami hanya mendapatkan lisensi sementara dan setelah itu haknya kembali ke musisi dan keluarganya,” tegas Stürtz. Ia juga menambahkan, labelnya enggan mereproduksi narasi visual stereotip yang cenderung berpandangan orientalis.

Pandangan politik

Sebagai orang kulit putih yang juga bersinggungan dekat dengan karya musik-musik dari para musisi negara-negara Arab, Stürtz juga punya pandangan politik yang jelas. Ia secara sadar juga tak ingin mengalienasikan karya seni dengan konteks politik negara-negara yang musisinya ia representasikan dalam rilisan ulang. Sebab itu, ketika ia bertugas sebagai DJ, habibi funk tidak bisa bermain di sebuah acara di Berlin yang didanai oleh uang publik. Atau ia tidak bisa mengajukan permohonan dana publik dan hibah karena sikap politik yang mereka miliki terhadap Palestina.

“Pada dasarnya Jerman telah memperkenalkan Undang-Undang pada tahun lalu yang secara efektif melarang semua orang yang pro-Palestina untuk menjadi bagian dari acara-acara budaya yang terkait dengan negara. Dan itu berarti pelukis, orang-orang yang menayangkan film mereka di Berlinale, itu berarti semua bentuk seni. Dan saya pikir Jerman seperti mengambil rasa bersalah historis mereka atas Holocaust dan meletakkannya di pundak orang-orang Palestina. Dan ini adalah situasi yang sangat aneh dan situasi yang sangat menyedihkan di Jerman saat ini,” ungkap Stürtz.

Stürtz juga sadar, Jerman saat ini merupakan pengekspor senjata terbesar kedua ke Israel dan secara langsung mendukung genosida di Palestina. Sehingga, sebagai label rekaman asal Jerman yang berurusan dengan musik-musik dari negara Arab, ia harus memiliki posisi tentang hal ini dan bersikap vokal.

“Bukan berarti kami adalah sebuah entitas politik, namun saya pikir karena apa yang kami lakukan, maka secara otomatis hal ini bersifat politis dan kami harus memiliki pendapat tentang hal ini. Dan kita tidak bisa berbuat adil terhadap karya para seniman kita dengan berdiam diri tentang hal-hal ini. Karena seperti contohnya, album Ferkad Al Ard, musisi Lebanon yang pada tahun 1978 selama perang saudara Lebanon secara sadar memutuskan untuk membuat sebuah album yang hanya didasarkan pada puisi-puisi Palestina. Jadi maksud saya, hal politis itu bahkan ada di dalam musik.”

Habibi funk yang juga punya akun Instagram dengan 190 ribu pengikut, ingin menggunakan platform tersebut untuk hal-hal yang penting bagi mereka. Termasuk menyuarakan dan berdiri bersama warga Palestina.

“Saya pikir penting bagi kami untuk bersuara lantang tentang hal ini. Dan pada akhirnya, meskipun ada beberapa orang yang tidak menyukai kami, toh kami berada dalam situasi yang sangat berprivilese. Kami tidak mengambil risiko apa pun, selain dari seseorang yang marah pada kami. Ini tidak seperti keluarga kami yang dibom dan sebagainya,” tutup Stürtz. (Z-9)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya