Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Ketika Digitalisasi Pendidikan Berubah Jadi Ladang Korupsi

Zavina Shara Pova, mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
16/6/2025 14:19
Ketika Digitalisasi Pendidikan Berubah Jadi Ladang Korupsi
Zavina Shara Pova, mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa(DOK PRIBADI)

NADIEM Anwar Makarim merupakan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada periode 2019–2022. Namanya kini tengah menjadi sorotan publik setelah muncul dugaan keterlibatan dalam kasus korupsi terkait pengadaan laptop senilai Rp9,9 triliun untuk program digitalisasi pendidikan.

Dugaan tersebut pertama kali mencuat pada 2021, ketika Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti kejanggalan dalam proyek pengadaan laptop Chromebook oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Pada saat itu, banyak pihak mempertanyakan urgensi pengadaan Chromebook di Indonesia, mengingat perangkat ini sangat bergantung pada koneksi internet yang stabil, sedangkan realitanya, infrastruktur internet di berbagai wilayah Indonesia masih jauh dari merata.

Lebih ironisnya lagi, pada 2019, Kemendikbudristek sempat melakukan uji coba terhadap 1.000 unit Chromebook. Hasil uji coba tersebut menunjukkan bahwa penggunaannya dinilai tidak efektif.

Namun, alih-alih dievaluasi dan dihentikan, proyek ini justru tetap dilanjutkan dalam skala besar beberapa tahun kemudian tanpa transparansi dan dasar kebutuhan yang kuat. Ini mengindikasikan adanya potensi penyalahgunaan kewenangan dan pengabaian terhadap hasil evaluasi kebijakan sebelumnya.

Puncaknya, pada  20 Mei 2025, Kejaksaan Agung resmi meningkatkan status kasus ini dari penyelidikan menjadi penyidikan. Langkah ini diambil setelah Kejagung menerima laporan dari masyarakat serta menemukan bukti permulaan yang cukup kuat atas dugaan korupsi dalam proyek pengadaan tersebut.

Kasus dugaan korupsi dalam pengadaan laptop Chromebook senilai Rp9,9 triliun di Kemendikbudristek terus bergulir. Kini, tiga mantan staf khusus Menteri Nadiem Makarim, yakni Jurist Tan, Fiona Handayani, dan Ibrahim Arief, ikut terseret dalam pusaran perkara tersebut. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) dijadwalkan memeriksa ketiganya untuk dimintai keterangan seputar keterlibatan dalam kasus ini. "Rencana (pemeriksaan) mulai besok," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, kepada wartawan pada Senin (9/6/2025).

Namun demikian, ketiga mantan staf khusus tersebut absen dari pemanggilan tersebut tanpa keterangan yang jelas. Sebelumnya, pada 23 Mei 2025, tim penyidik Jampidsus telah melakukan penggeledahan di kediaman Ibrahim Arief.

Dari penggeledahan itu, aparat menyita sejumlah barang bukti berupa perangkat elektronik. Dua hari sebelumnya, giliran rumah Jurist Tan dan Fiona Handayani yang digeledah oleh jaksa. Dari rumah Fiona, penyidik menyita satu unit laptop dan tiga ponsel. Sementara dari rumah Jurist, ditemukan dan disita dua harddisk eksternal, satu flashdisk, satu laptop, serta 15 buku agenda.  

Serangkaian tindakan hukum itu menunjukkan keseriusan Kejaksaan Agung dalam mengusut dugaan korupsi berskala besar yang berpotensi merugikan negara, khususnya dalam sektor pendidikan yang seharusnya menjadi fondasi pembangunan bangsa. Namun demikian, perlu ditekankan bahwa seluruh pihak yang disebut dalam perkara ini, termasuk Nadiem Makarim, masih berstatus sebagai terduga dan berhak mendapatkan perlakuan hukum yang adil sesuai dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), yakni bahwa seseorang tidak dapat dianggap bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Meski begitu, asas ini tidak boleh menjadi tameng untuk menghindari akuntabilitas publik. Keterbukaan informasi, tanggung jawab moral, serta keberanian untuk menjawab dugaan publik tetap diperlukan sebagai bentuk komitmen terhadap integritas dan reformasi birokrasi. Jika tidak, penegakan hukum hanya akan terlihat tajam ke bawah namun tumpul ke atas, sebuah adagium yang sayangnya masih relevan dalam konteks penegakan hukum kita.

Dalam hal ini, semangat keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Fiat justitia ruat caelum, biarlah keadilan ditegakkan, walau langit runtuh. Proyek digitalisasi pendidikan sejatinya adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan ladang basah bagi kepentingan segelintir elit. Maka, pembiaran terhadap kasus ini tanpa penyelesaian yang adil hanya akan menambah panjang daftar kegagalan reformasi birokrasi di sektor pendidikan.

Penulis berharap agar kasus ini menjadi momentum bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk memperkuat integritas dalam proses perumusan serta pelaksanaan kebijakan publik. Pendidikan harus kembali ke hakikatnya sebagai instrumen pemerdekaan dan pembangunan bangsa, bukan menjadi alat transaksi kekuasaan atau sumber rente kekayaan bagi kelompok tertentu.

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya