Selamat Melewati Guncangan karena Masker

(Palce Amalo/Nurul Hidayah/N-3)
07/10/2020 02:45
Selamat Melewati Guncangan karena Masker
PESANAN MENGALIR LAGI: Pekerja membuat kopiah dan topi motif tenun ikat di NTT(MI/PALCE AMALO)

SAFRUDIN Tonu nyaris putus harapan. Pemilik Rumah Kreatif Hulnani di Kelurahan Tuak Daun Merah, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, itu harus mengalami guncangan besar dalam usahanya karena pandemi.

Sejak April, ia terpaksa menghentikan produksi dan penjualan kopiah, tas, dan topi bermotif tenun ikat khas daerah berjuluk 'Seribu Pulau' ini.

Beruntung, Safrudin melihat peluang lain. Saat itu, masker sulit didapat sehingga harganya jadi mahal.

Ia pun banting kemudi, meminta para penjahitnya membuat masker dengan menggunakan bahan kain tenun ikat.

Ketika itu, Safrudin menjadi orang pertama di Kupang yang memproduksi masker.

Selamat. Dari April sampai Juni, ia bisa memproduksi 10 ribu masker. Setengah dari jumlah itu dibagikan secara cuma-cuma dan setengahnya lagi dijual Rp20 ribu per lembar. Usaha Safrudin pun bertahan.

Motif tenun ikat itu memang lain dari yang lain. Apalagi, Rumah Kreatif Hulnani juga mengembangkannya dengan memproduksi masker dengan lapisan di dalamnya sehingga memenuhi standar medis.

Perubahan kembali terjadi sejak Juni lalu, saat pemberlakuan tatanan kehidupan baru. Kali ini bukan perubahan negatif.

Toko suvenir kembali buka dengan memberlakukan protokol kesehatan. Pesanan kopiah, tas, dan topi tenun ikat mengalir lagi. Rezeki besar mengalir. Pesanan datang dari luar Kupang, seperti Timor Tengah Utara dan Sikka.

Kocek Syafrudin tebal lagi. Satu kopiah dijual Rp100 ribu, tas antara Rp150 ribu dan Rp250 ribu dan topi bisa sampai Rp250 ribu. "Permintaan melonjak sampai saya kewalahan memenuhinya," tandas Syafrudin.

Di tempat terpisah, Anida terpaksa juga bersiasat ketika pandemi datang.

Ketua UKM Klambi Cirebon, yang bermarkas di Desa Kanci Kulon, Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, itu semula memproduksi beragam jenis busana. Mulai seragam perusahaan, kaus, hingga wearpack.

Pandemi nyaris membuat usaha itu vakum. Pesanan melorot, bahkan nihil.

Pembuatan masker pun dilirik. "Kami menjual dengan harga terjangkau. Respons masyarakat cukup bagus," ungkap Anida.

Selama Maret-April, para penjahit bisa bertahan bekerja. Sebanyak 20 ribu masker terjual per bulan.

Sejak beberapa bulan lalu, pesanan konveksi sudah datang lagi. "Langsung ramai lagi," ujarnya sambil tersenyum. (Palce Amalo/Nurul Hidayah/N-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya