Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Beras Oplosan Buat Resah, Pemerintah Diminta Lakukan Edukasi

M Ilham Ramadhan Avisena
20/7/2025 12:29
Beras Oplosan Buat Resah, Pemerintah Diminta Lakukan Edukasi
Pekerja sedang menyusun beras di gudang.(MI/Akhmad Safuan )

WACANA mengenai beras oplosan kembali mengemuka, menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat dan pelaku usaha perberasan. Sejumlah pemberitaan dan pernyataan resmi yang menggunakan istilah tersebut menimbulkan kesan seolah telah terjadi praktik curang secara luas di sektor distribusi beras.

Pengamat pertanian Khudori menyatakan, dalam praktik industri perberasan, pencampuran atau oplos merupakan bagian dari proses yang legal dan dibutuhkan dalam standar produksi. Saat beras dihasilkan dari proses penggilingan, outputnya terdiri dari butir utuh, patah, dan menir. Untuk mencapai standar mutu tertentu, baik medium maupun premium, produsen melakukan pencampuran sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam regulasi.

"Memaknai oplos secara negatif telah menimbulkan keresahan, terutama masyarakat konsumen. Produsen pun jadi sasaran tembak," kata Khudori melalui keterangannya, Minggu (20/7).

Menurutnya, selama pencampuran dilakukan secara transparan dan sesuai standar mutu, maka tidak dapat disebut sebagai pelanggaran. Justru praktik itu membantu menjaga kualitas produk secara konsisten, karena gabah yang digiling tidak selalu menghasilkan mutu seragam.

"Di industri perberasan, gabah yang diolah akan menghasilkan beras utuh, pecah, menir, serta sekam dan dedak. Untuk membuat beras premium atau medium, pencampuran butir patah dan menir sesuai kadar yang diizinkan regulasi adalah hal normal. Oplos ini bukan pelanggaran," jelas Khudori.

Persoalan, lanjutnya, baru muncul jika pencampuran digunakan untuk menipu konsumen, misalnya dengan menjual beras kualitas rendah sebagai premium tanpa informasi yang jujur. Dalam konteks itulah, praktik tersebut bisa dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum.

"Mencampur atau mengoplos yang dilarang adalah untuk menipu," tutur Khudori.

Di sisi lain, publik juga dibuat cemas dengan temuan Badan Pangan Nasional yang mengungkapkan 212 merek beras bermasalah, terutama soal ketidaksesuaian berat bersih dengan label. Namun Khudori mengingatkan, fluktuasi berat bisa terjadi akibat faktor alami seperti penurunan kadar air selama penyimpanan, dan tidak serta-merta berarti kecurangan.

"Selama penyimpanan kadar air bisa turun yang akan mengurangi berat bersih beras. Tiap alat timbang juga ada toleransi kalibrasi yang perlu dipertimbangkan," kata dia.

Dalam hal ini, menurut Khudori, peran pemerintah semestinya lebih ditekankan pada edukasi konsumen dan pembinaan pelaku usaha, bukan pada pendekatan represif semata. Ia juga mengingatkan, pelibatan aparat dalam urusan teknis ekonomi seperti ini tidak akan menyelesaikan akar persoalan.

"Sebaiknya pemerintah tidak menarik-narik Satgas Pangan untuk menjadi polisi ekonomi. Pendekatan keamanan ini sudah dilakukan sejak 1950-an dan tidak berhasil," ujarnya.

Lebih jauh, Khudori menilai pemulihan kepercayaan terhadap sektor pangan nasional hanya bisa dicapai melalui kebijakan yang transparan dan edukatif.

Konsumen perlu diberi pemahaman tentang proses industri beras, standar mutu, dan mekanisme distribusi, agar tidak mudah terpengaruh oleh istilah yang tidak dijelaskan dengan benar. Diketahui sebelumnya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman sempat menyampaikan adanya potensi kerugian negara hingga Rp2 triliun akibat dugaan praktik pengoplosan beras SPHP ke dalam kemasan beras premium. (E-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri yuliani
Berita Lainnya