Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Tambang Nikel di Raja Ampat, Citra Indonesia Dipertaruhkan

Andhika Prasetyo
07/6/2025 12:21
Tambang Nikel di Raja Ampat, Citra Indonesia Dipertaruhkan
Penambangan nikel di Raja Ampat.(Greenpeace Indonesia)

Pengamat maritim Marcellus Hakeng Jayawibawa memperingatkan dunia akan memandang Indonesia sebagai pihak yang gagal menjaga warisan alamnya, apabila aktivitas pertambangan terus dibiarkan di destinasi super prioritas yakni, Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Menurutnya, aktivitas tambang di Pulau Gag menimbulkan pertanyaan serius tentang konsistensi Indonesia dalam penegakan perlindungan lingkungan. Merujuk pada laporan Greenpeace, lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi di pulau tersebut terancam rusak akibat aktivitas tambang. Selain kerusakan daratan, sedimentasi dari kegiatan pertambangan juga telah mencemari laut dan menyebabkan kerusakan terumbu karang, yang pada akhirnya mengganggu sistem ekologi laut.

“Jika ini dibiarkan, Raja Ampat bisa kehilangan status geopark-nya. Dunia akan menyalahkan kita karena gagal menjaga warisan alam,” tegas Hakeng dalam keterangannya yang diterima Media Indonesia, Sabtu (7/6).

Diakui UNESCO sebagai global geopark, Raja Ampat semestinya dilindungi dari kegiatan industri ekstraktif berskala besar. Dengan 75 persen jenis terumbu karang dunia berada di wilayah ini, kerusakan Raja Ampat bukan sekadar kerugian lokal, tetapi juga kehilangan besar bagi ekosistem global.

Di sisi lain, PT Gag Nikel, anak usaha dari PT Antam Tbk yang merupakan BUMN, mengeklaim operasi mereka telah mematuhi seluruh regulasi. Namun bagi Hakeng, status sebagai BUMN justru mengharuskan mereka menjadi teladan dalam menjaga lingkungan. 

“Justru karena BUMN adalah wajah negara, maka seharusnya mereka menjadi contoh dalam menjaga lingkungan, bukan malah menjadi pelanggar,” tudingnya.

Dia juga menekankan pentingnya melibatkan masyarakat adat dalam seluruh proses perencanaan dan pengambilan keputusan. “Masyarakat adat tidak boleh hanya dijadikan objek. Mereka harus menjadi subjek utama karena mereka yang paling terdampak,” kata Hakeng.

Salah satu titik lemah dalam proyek ini, lanjutnya, adalah lemahnya pelibatan masyarakat dalam penyusunan dan pengawasan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Hakeng menyoroti minimnya transparansi dalam proses perizinan, termasuk dalam pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), serta absennya keterlibatan lembaga akademik dan ilmiah dalam menilai dampak lingkungan dari proyek-proyek berskala besar seperti tambang nikel di pulau kecil.

"Tanpa keterlibatan publik dan pengawasan independen, amdal hanya menjadi formalitas. Padahal di situlah letak tanggung jawab sosial dan ekologis dari setiap proyek,” tegasnya.

Hakeng mendesak pemerintah agar menjadikan kasus ini sebagai pelajaran penting dalam membangun kebijakan yang adil secara ekologis dan sosial. Serta, bertanggung jawab menjaga bumi untuk generasi masa depan.

 “Jangan tunggu sampai dunia internasional menghukum kita melalui pencabutan status geopark karena kelalaian menjaga lingkungan," pungkasnya. (E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika
Berita Lainnya