Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Pengalihan Subsidi Energi ke BLT Dinilai Rasional

M Ilham Ramadhan Avisena
26/11/2024 18:53
Pengalihan Subsidi Energi ke BLT Dinilai Rasional
Petugas melakukan bongkar muat tabung gas elpiji subsidi tiga kilogram saat pendistribusian(ANTARA FOTO/Maulana Surya)

PENGALIHAN subsidi energi menjadi bantuan langsung tunai (BLT) dinilai rasional dilakukan pemerintah agar anggaran negara dapat memberi manfaat secara optimal. Itu juga dianggap perlu untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi secara tak langsung. 

Demikian disampaikan Ketua Dewan Pakar Partai Gerindra Burhanuddin Abdullah dalam diskusi panel bertajuk Menuju Indonesia Emas: Perspektif Partai Gerindra dalam Mewujudkan Visi Kebangsaan di NasDem Tower, Jakarta, Selasa (26/11).

“Subsidi BBM, listrik, dan gas itu hampir Rp560 triliun. Makanya ada pemikiran, bagaimana kalau ini diubah subsidinya dengan BLT. Kita sudah lakukan penghitungan,” ujarnya.

Diasumsikan setiap penerima BLT akan mendapatkan dana bantuan sebesar Rp600 ribu per bulan untuk masyarakat miskin. Dari hitungan yang dilakukan, kata Burhanuddin, penerima manfaat di kelompok miskin akan memegang uang sisa setiap bulannya sekitar Rp400 ribu. 

“Kelompok miskin ini kan tidak punya motor, bayar listrik itu sekitar Rp30 ribu sebulan. Jadi dari Rp600 ribu itu ada sisa banyak sekitar Rp400 ribu kalau ditotal. Sementara kalau yang menerima adalah masyarakat yang agak menengah, itu ada sisa setiap bulan Rp200 ribu,” tuturnya. 

“Dengan cara demikian, itu negara bisa saving sekitar Rp209 triliun. Dengan pemikiran itu, memang agak sedikit mengorbankan inflasi. Sebab inflasi yang ditahan di kisaran 2,5% itu berbiaya besar. Bagaimana kalau diubah sedikit, subsidi untuk produktif dan me-leverage growth, itu cara yang kita pikirkan,” tambah Burhanuddin. 

Lebih lanjut, dia juga menerangkan semestinya kebijakan fiskal di Indonesia tak terlalu ketat. Pasalnya, kewajiban defisit maksimal anggaran 3% dinilai cukup kaku dan menghambat dukungan pemerintah terhadap perekonomian. 

“Waktu UU 17/2023, saya itu menyarankan bukan setiap tahun defisit dipatok maksimal 3%, tetapi satu periode presiden rerata 3% defisitnya. Dengan cara demikian, kita bisa lebih proaktif me-manage APBN. Jangan seperti sekarang ini,” pungkas Burhanuddin. (Mir/M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya