Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Risiko Ekonomi Meningkat, Pemerintah Diminta Hati-Hati Kelola Anggaran

Adiyanto
23/4/2024 09:00
Risiko Ekonomi Meningkat, Pemerintah Diminta Hati-Hati Kelola Anggaran
ilustrasi: Kurs mata uang(Richard A. Brooks / AFP)

Pemerintah diminta lebih berhati-hati mengelola anggaran negara terkait potensi pelemahan ekonomi akibat konflik di Timur Tengah. Apalagi dalam waktu bersamaan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) diperkirakan terus melemah. Terbaru, kementerian ESDM mengungkapkan bahwa pemerintah akan menaikkan impor BBM menjadi 850 ribu barel per hari akibat penurunan produksi migas nasional.

Beberapa kebijakan yang dinilai menjadi beban pemerintah adalah program harga gas murah untuk industri yang dikenal sebagai Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). ”Sebaiknya kebijakan insentif harga gas khusus (HGBT) perlu dievaluasi ulang. Pertama, mempertimbangkan risiko geopolitik yang bisa mendorong harga gas lebih tinggi dan pelemahan kurs rupiah,” ungkap Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, Minggu (20/04).

Dalam kondisi terjadinya kenaikan harga gas, menurutnya, maka beban dari program HGBT akan meningkat sehingga risiko terhadap sektor minyak dan gas (migas) menjadi lebih tinggi dan potensi kehilangan pendapatan negara menjadi lebih besar. ”Padahal APBN juga dibebani subsidi energi yang melebar,” tegasnya.

Baca juga : BI: Ekonomi Indonesia Salah Satu Terbaik di Dunia

Pertimbangan kedua kenapa program yang sudah berjalan sejak pandemi Covid-19 dijalankan yaitu pada 2020 ini tidak disarankan diteruskan adalah karena insentif melalui HGBT sejauh ini belum banyak dirasakan manfaatnya. ”Deindustrialisasi tetap terjadi. Porsi industri saat ini hanya di kisaran 18% dari PDB. Tujuan insentif gas agar tercapai proses industrialisasi ternyata tidak terwujud,” Bhima menjelaskan.

Pertimbangan ketiga yaitu dari dampaknya terhadap serapan tenaga kerja. Dengan adanya program HGBT terhadap sektor industri penerima, sejauh ini tidak banyak serapan tenaga kerjanya. ”Tidak banyak berubah dibanding pra-pandemi,” imbuhnya.

Bhima menyatakan program HGBT tidak memiliki multiplier efek yang luas. Dia menyarankan upaya mendorong optimalisasi pasokan gas domestik untuk menciptakan sistem yang lebih efisien. Mulai dari memangkas banyaknya rantai pasok termasuk trader hingga optimalisasi infrastruktur.

Baca juga : Siklus Krisis Ekonomi Memendek, Respons Pemerintah Harusnya Lebih Cepat

”Artinya, untuk mencapai harga gas domestik murah untuk industri bukan dengan cara insentif seperti sekarang,” ujarnya.

Sementara itu, berkaitan dengan subsidi energi, saat ini sebaiknya tetap diprioritaskan terhadap yang memiliki dampak langsung kepada masyarakat untuk menjaga daya beli dan perekonomian secara umum. Terutama BBM dan listrik serta LPG 3kg. Terhadap subsidi prioritas seperti BBM ini pun, menurut Bhima, masih berpotensi terjadi kenaikan jika beban APBN dirasa akan semakin memberatkan.

Seperti diketahui, nilai tukar Rupiah saat ini telah menyentuh Rp16.000 per dolar Amerika Serikat (USD) dan dampak meningkatnya tensi geopolitik diperkirakan akan meningkatkan pula harga komoditas energi seperti minyak.

Menteri ESDM Arifin Tasrif akhir pekan kemarin mengumumkan potensi defisit tinggi akibat impor minyak masih terlihat. Sebab Indonesia memproduksi sebanyak 600 ribu barel per hari sedangkan impornya mencapai 840 ribu barel per hari dengan rincian sebanyak 600 ribu barel dalam bentuk BBM dan 240 ribu barel berupa minyak mentah.

Impor bersumber dari beberapa negara seperti Arab Saudi, Nigeria, dan beberapa lainnya. ”Karena mungkin (dari beberapa negara) itu yang paling kompetitif dalam menawarkan harga BBM-nya,” ujarnya.(M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya