Pembangunan Ekosistem Berkelanjutan untuk Ketahanan Pangan

Media Indonesia
19/10/2023 20:57
Pembangunan Ekosistem Berkelanjutan untuk Ketahanan Pangan
Dosen Universitas Wahid Haysim Semarang Nugroho Widiasmadi saat memberi penyuluhan kepada masyarakat dan kelompok tani.(Ist)

HARI Pangan Sedunia yang jatuh pada 16 Oktober 2023 merupakan momen bersejarah dalam memperingati pendirian Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).

Pada hari yang sama, Presiden Joko Widodo menyampaikan pandangannya tentang 2023 sebagai tahun yang penuh tantangan, bukan hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi dunia. Kenaikan suhu bumi yang memicu El Nino panjang menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi ketersediaan pangan global.

Jokowi mengungkapkan bahwa Indonesia telah melakukan upaya antisipasi dengan persiapan cadangan beras yang memadai. Seiring waktu, infrastruktur yang diperlukan untuk menjaga ketahanan pangan telah dibangun, termasuk waduk, ribuan embung, dan jaringan irigasi. Namun, tantangan yang dihadapi, terutama dalam situasi El Nino, masih 
mengandalkan impor sebagai solusi.

Sementara itu, Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri sebelumnya telah mencatat bahwa impor pangan Indonesia mencapai angka yang signifikan, diperkirakan mencapai Rp300 triliun. Megawati juga mencermati peningkatan impor gandum yang telah mencapai 28% konsumsi pada 2022.

Indonesia memiliki sumber pangan seperti jagung, hanjeli, pisang, sagu, singkong, talas, dan ubi jalar yang dapat menjadi alternatif. Namun ketergantungan pada impor pangan, terutama gandum, masih tinggi.

Dosen Universitas Wahid Haysim Semarang yang meraih Kalpataru 2023 dalam kategori Pembina Lingkungan, Nugroho Widiasmadi, mengatakan, kebijakan ketahanan pangan harus dimulai dengan pembangunan ekosistem berkelanjutan, yang meliputi variael tanah, air dan udara, sehingga jaminan akan kesehatan dan kesuburan elemen itu akan memberikan buah hasil tanaman yang baik untuk dimakan dari generasi ke generasi.

"Di negara kita telah terjadi degradasi lahan akibat pemakaian pupuk dan pestisida berlebihan sejak revolusi hijau 1970 sampai saat ini.  Keberpihakan pemerintah terhadap sumber daya yang berkelanjutan untuk kemandirian tidak diperhatikan, alih alih menambah cabang kerusakan dengan ekploitas tambang yang tarus menggila, alih fungsi lahan, ketergantungan impor dan lain-lain sehingga menjadi potret gelap dalam dunia pangan," ujar Nugroho dalam keterangannya, Kamis (19/10).

Sebagai akibatnya, lanjut dia, tekanan ekonomi, perubahan iklim global memaksa semua elemen tumbang karena negara tidak siap. Mengatasi krisis pangan terutama beras tidak dengan impor atau membuat program 'kagetan' seperti program pendamping beras dengan sumber lain seperti ubi, pisang, dan lain-lain.


Baca juga: Pengamat Ingatkan Bahaya Beli BBM Eceran di Pom Mini


"Percuma saja kalau tanahnya terus dirusak dan diracun atau masih ketergantungan dengan pupuk kimia, itu hanya memindahkan  masalah ke tempat lain. Sebaiknya pemerintah mulai serius menyelamatkan ketahanan pangan dengan kebijakan fundamental ciptakan kantong atau lumbung pupuk dan pakan untuk mengisi lumbung pangan. Semua komponen ini ada di desa, dengan Teknologi Biosoildam MA-11 semua dapat diwujudkan dengan cepat, mudah, dan terukur," imbuhnya.

Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan impor bahan pangan Indonesia mencapai US$16,09 miliar (Rp248,63 triliun) pada 2022. Impor pangan terbesar termasuk gandum, gula, kedelai, susu, daging, dan buah-buahan. Negara-negara seperti Australia, Kanada, Brasil, Argentina, dan Ukraina menjadi penyuplai utama gandum.

"Perlu dicatat bahwa Indonesia harus mengimpor gandum karena tidak memproduksinya sendiri, meskipun mi instan yang sangat populer di Indonesia terbuat dari gandum," kata Nugroho lagi.

Adapun impor gula juga mencapai angka yang besar, hampir US$3 miliar (Rp46,35 triliun). Impor kedelai juga signifikan, dengan RI hanya memproduksi 200 ribu ton per tahun pada 2021, jauh di bawah kebutuhan. Kedelai digunakan dalam makanan seperti tempe dan tahu, yang sangat disukai oleh masyarakat Indonesia.

"Sebanyak 80% kebutuhan susu Indonesia masih bergantung pada impor, mencapai US$1,31 miliar atau sekitar Rp 20,24 triliun. Meski ada potensi produksi lokal, beberapa bahan pangan, seperti buah-buahan, kedelai, bawang putih, jagung, dan garam, masih diimpor dalam jumlah besar," ujarnya.

Pemerintah Indonesia telah mengambil inisiatif dengan program Food Estate yang dirancang untuk mengantisipasi krisis pangan. Namun, program ini masih menghadapi sejumlah kendala, termasuk sumber daya petani dan lahan yang dibutuhkan.

Presiden Jokowi mengakui bahwa mengembangkan Food Estate di berbagai wilayah bukan tugas mudah. Keberhasilan dalam panen biasanya baru terjadi pada tanaman keenam atau ketujuh, menggarisbawahi kompleksitas tantangan di lapangan.

Meski program ini menghadapi berbagai permasalahan, pemerintah berkomitmen untuk melakukan evaluasi dan perbaikan guna mencapai hasil yang diharapkan. Kolaborasi lintas kementerian menjadi kunci dalam upaya menjaga ketahanan pangan Indonesia. (RO/I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya