WAKIL Ketua DPR Bidang Korinbang, Rachmat Gobel, mengatakan, investasi dan perdagangan, khususnya dari dan dengan pihak asing, memiliki posisi penting. Namun ekonomi, termasuk investasi dan perdagangan, tidak boleh merusak budaya dan tata nilai bangsa.
Hal itu ia sampaikan saat mengikuti dialog dengan para guru secara daring dan luring di Pare, Kediri, Jawa Timur, Minggu, 29 Januari 2023. Acara bertajuk Silaturahmi Besar Pendidikan Cokroaminoto itu diselenggarakan oleh Syarikat Islam (SI). Pada acara itu hadir juga Prof Dr Endang Caturwati, dosen dari Unpad Bandung yang juga aktivis SI. Organisasi yang awalnya bernama Syarekat Dagang Islam itu didirikan oleh Haji Samanhudi kemudian berubah menjadi SI di masa HOS Tjokroaminoto. Acara itu mengambil tema Gerakan Perubahan Indonesia Berbasis Pendidikan, Budaya, dan Ekonomi.
Salah satu contoh ekonomi yang merusak budaya dan tata nilai bangsa ialah impor pakaian bekas dan impor tekstil bermotif batik. Karena itu, saat Gobel menjadi menteri perdagangan, ia melarang impor barang-barang tersebut. Pakaian bekas, katanya, tak hanya mematikan industri garmen kecil tetapi juga menunjukkan bangsa yang tak memiliki kehormatan dan harga diri. Sedangkan impor tekstil bermotif batik, katanya, akan mematikan kerajinan batik. "Industri garmen dan kerajinan batik adalah produk budaya. Di sana ada nilai-nilai, ada kreativitas, ada intelektualitas, yang merupakan warisan leluhur kita. Jika kita biarkan impor tekstil bermotif batik, lama-lama kerajinan batik akan mati dan akhirnya di suatu masa dalam beberapa generasi kita tak mengenal lagi batik karena semuanya sudah impor," katanya.
Gobel juga mengingatkan tentang pentingnya ekonomi berbasis budaya. Menurutnya, ada empat keunggulan ekonomi berbasis budaya. Pertama, bahan bakunya dominan lokal. Kedua, umumnya ada di desa. Ketiga, skalanya UMKM. Keempat, bersifat khas. "Jadi ekonomi berbasis budaya akan memperkuat NKRI, bukan sekadar uang," katanya. Produk-produk ekonomi berbasis budaya, katanya, tekstil tradisional, mebel, handicraft, ukiran, anyaman, dan kuliner.
Pada bagian lain, kata Gobel, secara umum, investasi asing selalu membawa serta budayanya. Hal itu tak hanya melekat pada produknya, tetapi juga terutama karena akan membawa serta manusianya. "Karena orangnya datang, akan hadir juga kulinernya, lalu perilakunya, dan seterusnya. Tentu saja tak semua negatif, banyak juga hal yang positif. Hanya, kita perlu awas tentang pentingnya ketahanan budaya," katanya.
Menurutnya, di era globalisasi budaya bangsa makin memiliki kedudukan sangat penting. Era globalisasi adalah era batas-batas suatu negara menjadi makin imajiner. Lalu lintas barang dan manusia, katanya, makin tak memiliki sekat. Suatu bangsa, katanya, akan semakin majemuk. "Ras dan etnik bukan menjadi pembeda suatu bangsa. Yang membedakan satu bangsa dengan bangsa lain adalah budayanya. Etnik dan ras bisa saja sama. Karena itu budaya nasional harus terus diperkuat dan menjadi keunggulan suatu bangsa," katanya.
Dalam konteks tersebut, kata Gobel, pendidikan menjadi faktor signifikan dalam memelihara budaya bangsa. "Bukan hanya dalam pendidikan formal di sekolah-sekolah tetapi juga perusahaan. Perusahaan bukan hanya tempat mencari uang tetapi juga tempat persemaian budaya bangsa dan tempat pengabdian diri pada bangsa dan negara. Karena itu di perusahaan saya di Panasonic Gobel setiap tanggal 17 ada upacara bendera. Ini dimulai sejak almarhum Thayeb M Gobel selaku pendiri dan sudah menjadi budaya hingga kini," katanya. Gobel juga mengkritik Kemendikbud yang kurang memberi perhatian masalah budaya ini, apalagi dengan informasi dihapuskannya direktorat kesenian dan direktorat sejarah.
Gobel mengingatkan, kualitas pembangunan sumber daya manusia adalah kunci dalam memasuki peradaban unggul dan maju. "Itu paling basic dan paling penting. Kita harus memahami filosofi people before product. Membuat produk itu tidak sulit, yang pertama dan utama adalah membangun manusianya dulu. Dari manusia berkualitas dan berkarakter akan lahir produk yang berkualitas dan berkarakter pula. Karena itu kemajuan dan keunggulan seseorang atau suatu bangsa bukan tentang uang dan materi tetapi tentang kualitas sumberdaya manusia," katanya. "Nasionalisme di era global ini harus memiliki makna baru." (RO/OL-14)