Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Antisipasi Normalisasi, BI Siap Berdansa dengan Pasar Keuangan Global

Fetry Wuryasti
27/1/2022 14:43
Antisipasi Normalisasi, BI Siap Berdansa dengan Pasar Keuangan Global
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan papaparannya dalam program Media Group Network (MGN) Summit 2022 di Grand Studio Metro TV(MI/Susanto)

BANK Indonesia telah memperkirakan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS atau Fed Fund Rate akan naik sepanjang 2022. Melalui berbagai kebijakannya BI menyatakan siap berdansa alias melakukan berbagai penyesuaian untuk mengantisipasi dampak kenaikan Fed Rate itu terhadap pasar keuangan Indonesia.

"Intinya, untuk mengantisipasi normalisasi mari kita berdansa dengan pasar keuangan global," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam MGN Summit 2022, Kamis (27/1).

Bank Indonesia melihat ada dua poin terkait mengantisipasi dinamika pasar keuangan global. Pertama kenaikan Fed Fund Rate, akan berdampak kepada kenaikan imbal hasil obligasi AS atau US Treasury Yield, yang sudah naik dari 1,3% menjadi 1,8%, mungkin menuju 1,9% dan bisa menyentuh 2,2%-2,5% pada akhir 2022.

"Ketika US Treasury naik, tentu investor akan mencari negara-negara yang imbal hasil obligasinya juga menarik. Kami berkoordinasi dengan kementerian keuangan, tentu yield/ imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) juga perlu menyesuaikan," kata Perry.

Dari sisi nilai tukar, fundamennya cukup bagus. Tapi tentu BI juga akan melakukan stabilitas.

"KalA Fed Fund Rate naik, yield US Treasury naik, tentu Indonesia juga menyesuaikan yield SBN, dan tetap menjaga stabilitas nilai tukar rupiah," kata Perry.

Bank Indonesia sendiri berjanji akan tetap menjaga suku bunga acuannya (BI 7 Day Reverse Repo Rate) tetap rendah, hingga terlihat tanda-tanda kenaikan inflasi yang nyata, yaitu yang berasal dari kenaikan permintaan. Sedangkan BI sendiri melihat kenaikan permintaan ini baru akan terjadi di 2023.

Poin kedua, Bank Indonesia melihat inflasi sumbernya masih berasal dari gangguan supply jangka pendek, dan bukan pada fundamen yaitu permintaan.

Kalau ini adalah supply jangka pendek , tentu obatnya adalah berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengatasi kenaikan harga jangka pendek.

Sedangkan inflasi terjadi pada fundamen yaitu kenaikan permintaan yang melebihi pasokan secara nasional, terlihat belum terjadi di Indonesia, dan baru akan terjadi pada 2023.

"Yang kami sebut kesenjangan output, output gap Indonesia masih negatif dan baru akan positif di tahun 2023. kalau kenaikan harga yang terjadi, dan belum fundamennya, maka belum perlu direspons dari sisi moneter atau dari sisi suku bunga," kata Perry.

Bank Indonesia sudah melakukan ancang-ancang penyesuaian melalui pengurangan likuiditas secara bertahap, dengan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan.

BI akan menaikkan GWM rupiah sebesar 300 basis poin (bp) menjadi 6,5% untuk bank umum konvensional dan sebesar 150bp menjadi 5% untuk bank syariah.

Kenaikan GWM oleh BI akan diberlakukan secara bertahap, dengan peningkatan pertama sebesar 150bp untuk bank umum konvensional dan 50bp untuk bank syariah,di mana peningkatan GWM ini efektif 1 Maret 2022 mendatang. Sedangkan kenaikan berikutnya akan berlangsung pada 1 Juni dan 1 September 2022.

"Kami pastikan kenaikan GW tidak mengganggu kemampuan perbankan menyalurkan kredit maupun pembelian SBN. Alat likuid sangat melimpah karena quantitative easing selama dua tahun kemarin sudah sangat besar. Likuiditas kami kurangi sedikit demi sedikit tanpa mengganggu kemampuan perbankan menyalurkan kredit yang dibutuhkan untuk pemulihan ekonomi maupun pembelian SBN yang dibutuhkan untuk pembiayaan APBN," kata Perry.

Sebelumnya dalam siaran pers, lembaga pemeringkat Fitch Ratings menyatakan kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) untuk perbankan di Indonesia pada tahun 2022 tidak memengaruhi likuiditas dalam sistem perbankan, di mana saat ini masih jauh di atas tingkat normalnya.

Menurut mereka, ketentuan tersebut menandakan dimulainya kembalinya normalitas likuiditas untuk sektor perbankan. Likuiditas perbankan selama ini telah meningkat akibat adanya pemberian stimulus covid-19 dan masih lemahnya penyaluran kredit bank.

Fitch Ratings memperkirakan langkah tersebut akan menyerap likuiditas hingga US$ 12,5 miliar atau sekitar Rp178 triliun, berdasarkan data akhir Oktober 2021 tentang simpanan pelanggan.

"Kami percaya bahwa bank-bank Indonesia secara keseluruhan memiliki likuiditas yang memadai, dan kami menilai bank-bank memiliki ruang yang cukup dalam nilai pendanaan dan likuiditas mereka untuk menyerap persyaratan yang lebih tinggi," kata Fitch Ratings dalam keterangannya. (E-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Heryadi
Berita Lainnya