Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

Pelaku Pasar Menunggu Gerak The Fed

Fetry Wuryasti
15/12/2021 10:39
Pelaku Pasar Menunggu Gerak The Fed
Ilustrasi(Antaranews.com)

Pertemuan The Fed akan menjadi salah satu yang dinantikan pekan ini. Pelaku pasar dan investor mengharapkan bahwa The Fed akan mempercepat selesainya fase Taper Tantrum, namun juga memberikan sinyal kepastian akan kenaikan tingkat suku bunga pada tahun 2022 mendatang untuk melawan inflasi yang tercepat sejak 1980an.

"Berdasarkan prediksi yang memenuhi pasar, kemungkinan akan ada perhitungan median dari 18 pejabat yang memproyeksikan 2 kenaikkan pada tingkat suku bunga pada tahun depan," kata Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus, Rabu (15/12).

Banyak yang mengatakan pertemuan kali ini akan menjadi pergeseran hawkish terbesar sepanjang sejarah dot plot. Hal ini ditambah dengan pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powell yang akan mempertimbangkan untuk mempercepat Taper Tantrum beberapa bulan lebih awal dari sebelumnya pertengahan 2022 mendatang.

Proyeksi terkait dengan adanya pengurangan tambahan akan bertambah menjadi USD 30 miliar per bulan nanti diharapkan akan selesai pada bulan Maret mendatang. Fokus utama dari pelaku pasar dan investor adalah bahwa The Fed segera dapat melakukan penyesuaian terhadap situasi dan kondisi yang terjadi khususnya pasar tenaga kerja dan inflasi.

Setelah kenaikkan dua kali pada tahun 2022 mendatang, diperkirakan masih akan ada 3 kenaikkan lagi pada tahun 2023 dan 2x lagi pada tahun 2024 mendatang. "Apabila hal ini terjadi, maka hal ini akan menjadi kenaikkan tingkat suku bunga yang paling dahsyat sepanjang sejarahnya. Apabila Taper Tantrum selesai lebih awal, maka besar kemungkinan kenaikan tingkat suku bunga The Fed akan terjadi pada bulan Maret 2022 mendatang," kata Nico.

Powell terlihat tidak akan segan kali ini untuk mengambil sebuah tindakan melalui kebijakan. Apalagi setelah melihat data inflasi yang kembali naik dari 6,2% menjadi 6 8% dan tertinggi dalam kurun waktu 40 tahun terakhir.

"Otomatis, mau tidak mau The Fed harus mengejar inflasi untuk dapat mengendalikan inflasi. Meskipun memang inflasi saat ini bukan yang terburuk sejak tahun 1070 an. Apalagi saat ini The Fed harus menghitung variable baru bernama Omicron, meskipun The Fed sudah mengatakan bahwa terlalu dini untuk menilai dan mengukur dampak Omicron bagi perekonomian Amerika," kata Nico.

Ketidakpastian ini yang akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja sementara yang memiliki pengaruh yang lebih banyak terhadap inflasi.

Asian Development Bank sendiri sudah memangkas proyeksi perekonomiannya untuk Emerging Market di Asia akibat kemunculan Omicron. GDP di Asia akan naik sebesar 7% pada tahun ini, namun angka ini merupakan angka revisi dari sebelumnya yang berada di 7,1%. (OL-12)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Retno Hemawati
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik