Perlindungan Data Nasabah Fintech Perlu Diperkuat

Fetry Wuryasti
15/7/2021 19:08
Perlindungan Data Nasabah Fintech Perlu Diperkuat
Warga berada di dekat poster edukasi waspada fintech ilegal di kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Yogyakarta, Rabu (4/11/2020).(Antara)

PEMBERLAKUAN Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) banyak berdampak pada pendapatan dan daya beli masyarakat, sehingga mendorong mereka untuk mencari pinjaman termasuk secara daring melalui skema peer-to-peer (P2P). Oleh karena itu pemerintah perlu memastikan perlindungan yang memadai bagi nasabah layanan financial technology (fintech) ini.

Pinjaman jangka pendek payday loan, merupakan salah sektor bisnis pinjaman P2P, yang paling diminati. "Namun jenis pinjaman ini juga yang paling banyak menimbulkan kontroversi," ungkap peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Thomas Dewaranu.

Thomas mengatakan perlindungan yang diperlukan bagi nasabah pinjaman P2P ini terutama dalam hal transparansi persyaratan dan ketentuan pinjaman, serta penggunaan data pribadi untuk keperluan penagihan pembayaran.

Ketidakmampuan membayar hutang yang membengkak dari pinjaman online sangat dipengaruhi oleh ketidakpahaman bahwa pinjaman online menarik bunga yang jauh lebih besar dari kredit bank pada umumnya. Bagi sebagian nasabah, hal ini juga diperparah oleh hilangnya sumber pendapatan mereka akibat kebijakan PPKM.

“OJK idealnya melakukan restrukturisasi pasar teknologi finansial, yang meliputi standar operasional bisnis pinjaman online, penggunaan Fintech Data Center (FDC) yang optimal untuk risk assessment dan perlindungan konsumen. Hal ini juga dibutuhkan untuk mengevaluasi kebijakan yang ada dan untuk memperkuat perlindungan data nasabah,” jelas Thomas, melalui keterangan yang diterima, Kamis (15/7).

Ia menjelaskan, standar operasional bisnis pinjaman online yang perlu diatur meliputi, perlindungan data, transparansi bunga dan biaya yang harus dibayar peminjam dan standar proses penagihan utang.

Yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah masalah penyalahgunaan atau penggunaan data konsumen secara eksesif seperti kontak, lokasi, dan galeri dalam telepon seluler untuk digunakan dalam proses penagihan hutang yang intimidatif.

Terkait informasi kredit, OJK dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memang membutuhkan data komprehensif yang terus diperbaharui, baik melalui Fintech Data Center (FDC) maupun Standar Layanan Informasi Keuangan (SLIK).

Di lain pihak, pemilik data harus menyadari risiko data yang mereka berikan, hingga mereka harus bersikap hati-hati dan cermat dalam memberikan data. Pemilik data harus sadar apa saja data yang diperlukan terkait dengan tujuan layanan. Masalahnya, fintech lending jenis payday loan ini kebanyakan menyasar konsumen kelas menengah ke bawah, yang mayoritasnya masih belum melek literasi keuangan.

Dalam aturan mengenai fintech yang tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, setiap fintech yang beroperasi di Indonesia diharuskan untuk mencatatkan diri ke OJK secara legal lewat prosedur yang berlaku.

Ironisnya, lebih banyak jumlah perusahaan fintech lending yang tidak terdaftar. Kontroversi yang sering terjadi pada faktanya banyak disebabkan oleh para fintech lending ilegal, terutama yang menjalankan model bisnis payday loan ini.

"Walaupun secara peraturan, OJK hanya dapat mengatur perusahaan fintech yang terdaftar. OJK dapat bekerja sama dengan kementerian dan lembaga lain dan lebih gencar dalam melakukan pemblokiran pemberi pinjaman ilegal ini untuk melindungi konsumen," kata Thomas. (E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Heryadi
Berita Lainnya