Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Pemerintah akan Benahi Ekosistem Ketenagakerjaan Nasional

M. Ilham Ramadhan Avisena
12/12/2020 18:10
Pemerintah akan Benahi Ekosistem Ketenagakerjaan Nasional
Tenaga kerja berjalan di trotoar Jalan Jenderal Sudirman Jakarta(Antara/Dhemas Reviyanto)

PEMERINTAH berupaya membenahi ekosistem ketenagakerjaan nasional melalui Undang Undang 11/2020 tentang Cipta Kerja. Hal itu karena kegiatan usaha di Indonesia mayoritas didominasi oleh sektor kecil dan informal yang mempekerjakan pekerja lepas atau kerap disebut sebagai gig workers yang tergolong informal.

“Kalau di kita pekerja gig dianggap tidak ada kepastian. Ekosistem ketenagakerjaan yang ada di Indonesia memang belum sempurna, oleh karena itu sedikit demi sedikit ini kita perbaiki melalui UU Cipta Kerja,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Mohammad Rudy Salahuddin dalam Focus Group Discussion bertajuk Eksistensi Ekonomi Gig Selama dan Pasca Pandemi Covid-19, Sabtu (12/12).

Gig workers, imbuh dia, merupakan turunan dari economy gig yang saat ini tengah berkembang di hampir seluruh negara. Meski terjadi pergeseran dari aspek ketenagakerjaan, sejatinya mereka yang tergolong sebagai gig workers memiliki kompetensi, hanya saja mereka tidak memiliki keterikatan dengan perusahaan tempatnya bekerja.

Rudy mengatakan, hak-hak para gig workers juga menjadi perhatian pemerintah. Mereka yang tergolong pekerja informal turut dilindungi dari aspek regulasi agar tidak memunculkan eksploitasi dari pemberi kerja.

“Oleh sebab itu, kita di dalam UU Cipta Kerja diatur, meredefinisi kembali PKWT (Pekerja Kontrak Waktu Tertentu) baik itu dari jam kerja, itu semua masuk di dalam perbaikan di dalam UU Cipta Kerja,” jelas Rudy.

Di kesempatan yang sama, Direktur Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PNK3) Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Binwasnaker & K3 Kementerian Ketenagakerjaan Ghazmahadi menuturkan, pandemi covid-19 turut memperluas munculnya gig workers. Industri yang terganggu proses produksinya, terpaksa harus merumahkan hingga mem-PHK pekerjanya dan pekerja itu mau tidak mau harus bekerja di sektor informal.

“Dari data kami sudah 9,7 juta orang yang berhenti, dirumahkan, dan berhenti proses produksi akibat covid. Banyak juga pekerja yang tidak bisa berangkat karena negara penempatan tidak menerima,” terangnya.

Baca juga : Pemerintah Berkomitmen Tegas dalam Pelestarian Lingkungan

Kendati demikian, Ghazmahadi memastikan, Kemnaker mengupayakan perlindungan kepada gig workers. Akan tetapi, sampai saat ini kemnaker hanya bisa memberikan dukungan pengawasan dan perlindungan kepada pekerja yang terikat hubungan dengan pemberi kerja. Dengan demikian, gig workers yang umumnya tidak terikat harus bisa bertanggungjawab bila ada risiko yang terjadi kala melakoni pekerjaannya.

Oleh karenanya diperlukan regulasi yang jelas terkait perlindungan kepada gig workers tersebut. “kita harus lindungi mereka dari aspek regulasi. Kalau ada kecelakaan kerja, apakah itu menjadi tanggung jawab sendiri atau perusahaan yang memberikan kerja, kalau tanggung jawab perusahaan, dia harus memberi social security, tanggungan 100%. Kemudian kalau tidak dilakukan penanggungan itu, sanksi akan diberikan kepada si pemberi kerja. Itu konteks yang harus kita lihat, hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja. kita sedang meriviu,” jelas Ghazmahadi.

Sementara itu Tim Peneliti Ekonomi Gig dan Covid-19 Universitas Teknologi Sumbawa Diah Anggraini Hasari menuturkan, jaminan keselamatan kerja dan kontrak kerja menjadi hal yang paling dikeluhkan oleh gig workers. Dia bilang, dua aspek itu perlu menjadi perhatian pemerintah agar gig workers tetap dapat produktif dan terpenuhi haknya sebagai pekerja.

Merujuk dari sebuah studi, Diah bilang, angka gig workers terus meningkat tiap tahunnya. Bak dua mata pisau, konsep tersebut memberikan dampak negatif dan positif baik itu bagi pemberi kerja maupun pekerja.

“Hal positif bagi perusahaan, mereka tidak membutuhkan banyak biaya operasional, tapi ada kerugian karena tidak ada loyalitas karena pekerja gig bebas bekerja di mana saja. Sementara sisi positif dari pekerja, mereka bisa mengukur berapa pendaptan yang diperoleh, bisa dioptimalkan, waktu untuk keluarga bisa lebih seimbang. Dari kerugiannya adalah tidak ada jenjang karir, tidak ada tunjangan masa tua dan tidak ada jaminan keselamatan kerja dari perusahaan,” terang Diah.

Sedangkan Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Saragih menyatakan, konsep economy gig merupakan pijakan untuk memperdalam persaingan usaha yang sehat. Sebab, konsep tersebut menawarkan metode bisnis kemitraan. Dalam artian, gig workers dan pemberi kerja bersifat mitra yang harusnya saling menguntungkan bagi kedua pihak.

Melalui proses bisnis kemitraan pula efisiensi bisnis dapat terwujud. Hanya saja, diakui oleh Guntur, dibutuhkan regulasi yang tepat dan jelas mengenai konsep kemitraan dalam penerapan economy gig tersebut. “Memang gig economy ini potensi besar, karena hubungan kemitraan ini bisa mendapat ruang efisiensi. Suka tidak suka model bisnis kemitraan membuka potensi persaingan usaha yang lebih kompetitif. Dengan catatan yang besar tidak menekan yang kecil,” kata Guntur. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya