Perbankan, Hati-hati dengan Neo Bank

Fetry Wuryasti
18/11/2020 07:25
Perbankan, Hati-hati dengan Neo Bank
Layanan digital makin meningkat(Antara/Arif Firmansyah)

EKONOM senior Indef Aviliani mengatakan perbankan saat ini harus sudah mulai memahami dan melayani kebutuhan konsumen dari segmen milenial. Bila tidak, dalam lima tahun ke depan, mereka bisa kehilangan pasar nasabahnya, bersaing dengan fintech dan neo bank.

Sebab di masa mendatang, arah industri perbankan akan menjadi neo bank, yaitu bank yang beroperasi secara digital penuh, tanpa kehadiran kantor cabang.

Meski tidak dipungkiri neo bank ini juga sudah mulai hadir dari perusahaan non bank, yaitu dari perusahaan aplikasi teknologi chatting seperti KakaoBank di Korea dari KakaoTalk, dan WeBank di Tiongkok yang lahir dari WeChat, YouTrip di Singapura, Judobank dan Volt di Australia, Atom dan Monzo di Inggris, Jibun Bank di Jepang serta Juno dan Axos di AS. Teknologi-teknologi ini yang menjadi konsumsi generasi milenial dan z sehari-hari.

"Karena dilihat dari tuntutan nasabah, dimana 60% didominasi milenial dan gen z yang akan menjadi market terbesar dalam lima tahun mendatang. Jadi bank sudah harus mulai bagaimana melayani nasabah usia milenial yang akan menjadi penerus dari orang tua mereka," kata Aviliani dalam webinar Traditional Bank vs Neo Bank, Selasa (17/11).

Bila tidak, dikhawatirkan pada konsumen milenial ini akan lebih kepada bank asing minded. Lalu sektor keuangan non bank telah mengambil porsi layanan berbasis digital. Ini akan memengaruhi fee based income bank konvensional.

Ini akan menjadi masalah, karena di masa terjadi krisis ekonomi kecil-kecil (yang periodik setahun-dua tahun sekali), biasanya fee based income menjadi tumpuan pendapatan bank disaat terjadi masalah pada pendapatan kredit bank.

Dukungan regulasi di dalam ekosistem juga harus direalisasikan. Alasannya saat ini industri keuangan dalam bentuk ekosistem masih harus mengurus izin yang terpisah masing-masing antara yang bank, non bank, sektor riil. Saat ini regulator yang ada sifatnya baru pengawasan yang terintegrasi.

"Seharusnya dalam izinnya pun demikian, terintegrasi. Karena ini akan menyangkut soal data, dan ekosistem dalam grup perusahaan itu sendiri. Maka regulasinya perlu diakomodasi," kata Aviliani.

Kehadiran neo bank di Indonesia pun seperti mendesak karena kini marak penggunaan alat pembayaran di luar negeri, seperti berbelanja menggunakan Amazone dan e-commerce di dalam negeri, dengan produk jualan barang impor. Maka perlu regulasi untuk memitigasi kemungkinan banyaknya konsumen yang menempatkan dana mereka di neo bank luar negeri karena mereka banyak bertransaksi barang ritel dari luar negeri.

"Menurut saya ini tidak bisa dibicarakan oleh OJK saja ataupun Bank Indonesia, tetapi juga dengan departemen terkait karena ini juga berbicara mengenai perdagangan yang menyebabkan transaksi debet itu tidak hanya di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Ini persoalan yang perlu dipikirkan stake holder sehingga bila digitalisasi ini berjalan lebih cepat, kita sudah siap dari sisi regulator maupun pelakunya," kata Aviliani.

Kepala OJK Institute Agus Sugiarto mengatakan prospek neo bank menjadi unggul karena menggunakan basis data dari produk aplikasi digital seperti chatting maupun sosial media sebagai induk dari neo banknya. Wujudnya pun hanya secara aplikasi digital, tanpa fisik, yang bisa diakses dari berbagai perangkat.

"Neo bank tidak memerlukan investasi yang besar seperti omni channel perbankan. Jadi neo bank ke depan punya prospek yang lebih bagus daripada mendirikan traditional bank. Ini menjadi peluang bagi investor maupun pelaku di industri perbankan mendirikan anak perusahaan dalam bentuk neo bank," kata Agus. (E-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Raja Suhud
Berita Lainnya