Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
PANDEMI covid-19 menjadi momen untuk perusahaan financial technology (fintech) lending (pinjaman online) yang ilegal melakukan penipuan. Sebab masyarakat tengah mengalami tekanan ekonomi akibat wabah covid-19.
Lalu bagaimana sebenarnya cara mereka menjangkau masyarakat calon korbannya?
Deputi Direktur Pengaturan, Penelitian, dan Pengembangan Fintech OJK Munawar Kasan mengatakan modus yang semakin marak saat pandemi ini adalah melakukan penawaran pinjaman melalui pesan singkat (SMS).
“Di tengah pandemi sebagian masyarakat membutuhkan pendanaan jadi harus hati-hati. Tidak melakukan apa-apa, tiba-tiba ada SMS pinjaman dana. Ini saya pastikan fintech yang kirim promosi lewat SMS itu ilegal,” ujar Munawar dalam Webinar Konsistensi Pemberantasan Fintech Ilegal di Masa Pandemi Covid-19, Senin (13/7).
Pasalnya, sambung Munawar, fintech yang legal justru dilarang untuk melakukan promosi tanpa izin dari pemilik nomor ponsel.
Promosi seperti ini menurutnya merupakan pelanggaran dari POJK 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Masyarakat dimintanya untuk mengecek perusahaan tersebut di OJK meski tengah berada dalam kesulitan finansial.
“Saat pandemi seperti ini, masyaraka yang butuh uang dengan SMS seperti itu lalu langsung diklik saja lalu langsung bertransaksi. Tidak sempat berpikir ini legal atau tidak. Tidak juga sempat melakukan kalkulasi. Kalo yang legal itukan jelas kalkulasinya, di websitenya ada kalkulator dan dihitung,” urainya.
Hingga sejauh ini, data yang disampaikan OJK per Mei sebanyak 2.500 fintech ilegal. Sedangkan untuk data terbaru bulan Juni masih dalam penghitungan. Namun, jumlah fintech ilegal ini memang jauh lebih banyak ketimbang yang legal. Tercatat hanya 158 fintech legal yang terdaftar di OJK.
Untuk mengatasi situasi ini, OJK akan memperketat untuk memilah perusahaan yang pernah dinyatakan ilegal oleh Satgas Waspada Investasi. Sehingga mereka tidak bisa mendaftar kembali sebagai perusahaan fintech peer to peer lending (P2PL).
Selain itu, Direktorat Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK akan aktif melakukan patrol siber untuk memberantas fintech P2PL ilegal.
“Kemudian terkait dengan akses data pribadi, fintech legal yang di bawah OJK itu jelas bahwa akses data pribadi itu sangat dibatasi. Meskipun Indonesia belum punya UU Perlindungan data Pribadi, OJK berperan agar tidak ada penyalahgunaan data pribadi,” jelasnya.
Di dalam POJK menurutnya sudah ada ketentuan mengenai data pribadi yang boleh diakses oleh fintech. Terdiri hanya 3 data saja berupa kamera, mikrofon, dan lokasi .
Sementara para pelaku fintech ilegal bisa mengakses semua data lewat ponsep seperti semua kontak, data storage, dan lain-lain.
“Yang melakukan akses data pribadi masyarakat yang berhubungan dengan transaksi saja. Tidak boleh data-data yang tidak terkait lalu diakses. Kami akan melakukan pengetatan lagi terkait akses data ini yang diakses melalui ponsel,” tandasnya. (E-1)
Fintech Ilegal menerapkan biaya denda pembayaran Rp50 ribu per hari
Sigit mengatakan akhir-akhir ini pinjaman online diminati oleh masyarakat, karena memberikan kemudahan akses dan tidak memakan waktu yang lama.
Pinjol tersebut beroperasi di 7 ruko yang masing-masing memiliki 4 lantai. Sebanyak 32 karyawan tersebut mengoperasikan 13 aplikasi pinjol yang 3 antaranya legal.
Wisnu menyebut 56 orang pegawai lainnya masih dilakukan pendalaman penyelidikan di Mapolres Metro Jakarta Pusat
Polisi masih mengembangkan pemilik pinjol yang diduga WNA tersebut berdasarkan bukti percakapan di grup aplikasi perpesanan.
Adapun penggerebekan kantor pinjol illegal itu dilakukan pada Rabu (13/10), di ruko Sedayu Square, Cengkareng, Jakarta Barat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved