Headline
Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.
DAMPAK ekonomi akibat pandemi covid-19 pada Indonesia amat ditentukan oleh kebijakan dan langkah yang diambil pemerintah untuk menghadapi kondisi tersebut. Pemerintah memang telah mengeluarkan paket kebijakan stimulus I dan II. Bahkan stimulus lanjutan pun tengah digodok.
Namun Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mendorong pemerintah untuk melakukan 7 poin penting guna mengantisipasi semakin buruknya dampak covid-19 bagi perekonomian dalam negeri.
Baca juga: Dunia Berupaya Lawan Resesi
Pertama, pemerintah perlu mempercepat pengobatan dan pencegahan yang lebih luas dengan menerapkan kebijakan at all cost seperti pengadaan alat kesehatan penunjang pemeriksaan, menggratiskan biaya pemeriksaan baik yang terbukti maupun yang tidak serta mendorong hal-hal yang bersifat pencegahan seperti pembagian masker gratis.
"Memang akan membebani pemerintah. Namun, perhitungan kemanusiaan semestinya harus lebih dikedepankan ketimbang kalkulasi ekonomi yang masih dapat ditanggulangi sejalan dengan pulihnya ekonomi masyarakat," ujar Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal melalui keterangan resmi, Minggu (29/3).
Kedua, pemerintah dapat mengurangi beban biaya yang secara langsung dalam kendali pemerintah seperti tarif dasar listrik, BBM hingga air bersih. Hal itu perlu dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat sebagai dampak dari melambatnya roda perputaran ekonomi.
Ketiga, memperluas kebijakan relaksasi pajak penghasilan (PPh) yang saat ini baru dilakukan pada PPh 21, 22 dan 25 dengan sektor yang terbatas pada sektor manufaktur. Padahal sektor manufaktur bukan satu-satunya sektor yang terdampak dari pandemi covid-19.
"Pemerintah perlu melakukan relaksasi pajak seperti pemberian potongan pajak, percepatan pembayaran restitusi, dan penundaan pembayaran cicilan pajak kepada sektor-sektor lain, khususnya yang terkena dampak paling parah, seperti sektor transportasi dan pariwisata," jelas Faisal.
Keempat, pemerintah perlu menjamim kelancaran pasokan dan distribusi utamanya pangan. Itu perlu sebagai pendorong dari kebijakan yang akan diambil untuk mendorong daya beli masyarakat bawah melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Kelima, penyaluran BLT harus diikuti dengan ketepatan data penerima bantuan dan perbaikan mekanisme serta kelembagaan dalam penyalurannya. Itu ditujukan agar BLT hanya diterima oleh masyarakat yang sepatutnya menerima.
"Ini belajar dari pengalaman penyaluran bantuan sosial selama ini yang belum terdistribusi secara merata khususnya bagi masyarakat yang justru membutuhkan. Oleh karena itu koordinasi untuk validitas data sampai dengan level kecamatan perlu dilakukan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah agar tujuan BLT untuk menjaga daya beli masyarakat bisa tercapai," tutur Faisal.
Keenam, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu mengeluarkan kebijakan yang mendorong lembaga keuangan untuk melakukan rescheduling dan refinancing utang sektor swasta. Bersama dengan Bank Indonesia (BI), perlu dirumuskan kebijakan yang bersifat strategis untuk mengatasi tingginya tingkat suku bunga perbankan yang menjadi beban bagi pelaku ekonomi.
"Tingkat suku bunga kredit perbankan belum mengalami penurunan yang signifikan sebagaimana halnya suku bunga simpanan. Pada periode Juni 2019 - Februari 2020, saat suku bunga acuan BI telah turun 125 bps, suku bunga kredit perbankan hanya turun 27 bps, lebih rendah dibandingkan penurunan suku bunga deposito sebesar 44 bps," urai Faisal.
Terkahir, imbuh Faisal, pada sisi fiskal pemerintah perlu memperlebar defisit anggaran dari batas yang ditetapkan Undang Undang Keuangan Negara. Di sisi moneter, Indonesia perlu mencontoh otoritas moneter yang aktif terjun memberikan insentif seperti The Fed yang mempunyai kebijakan Quarantine Easing_untuk menginjeksi likuditas ke masyarakat.
"Terobosan yang bisa dilakukan oleh BI dan pemerintah yaitu merevisi Peraturan Bank Indonesia no/10/13/PBI/2008 ataupun Undang-Undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara dengan memberikan keleluasaan BI untuk membeli SUN di pasar keuangan primer untuk mengakomodasi kepentingan pembiayaan negara," pungkas Faisal. (Mir/A-1)
Kemampuan yang dimiliki itu dapat diasah sehingga mampu berpartisipasi dalam upaya peningkatan ekonomi di daerah, bahkan nasional.
Perekonomian NTB menjadi bergairah dengan adanya Fornas kali ini.
SEJUMLAH pasal yang mengatur berbagai aspek terkait tembakau pada PP Nomor 28 Tahun 2024 menuai kritik. Aturan ini dinilai berdampak negatif terhadap industri dan petani dalam negeri,
KOTA Batu tak hanya lekat dengan suguhan pemandangan alam, kabut, dan kesejukan udara, tetapi juga hamparan perbukitan dan perkebunan milik warga hadir memanjakan mata.
PEMERINTAH dinilai perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan Over Dimension Overloading (ODOL) serta mencari solusi yang komprehensif dan berkelanjutan,
EFEKTIVITAS Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebagai instrumen peningkatan daya beli masyarakat kembali dipertanyakan. Sebab program tersebut tidak memberikan kontribusi signifikan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved