Headline

Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.

Banyak Persoalan Menggelayuti Industri Sawit Indonesia

Andhika Prasetyo
26/8/2019 10:16
Banyak Persoalan Menggelayuti Industri Sawit Indonesia
Regulasi dan banyaknya persoalan kini menggelayuti industri sawit dalam negeri.(Antara )

PEMERINTAH dinilai perlu menahan diri dari lontaran pernyataan-pernyataan kontroversi yang dapat membuat citra komoditas sawit semakin terpuruk di pasar global. Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan bahwa sebanyak 81% lahan sawit tidak mematuhi tata kelola yang baik.

"Jadi BPK harus bisa menjabarkan dengan jelas bagaimana data-data itu didapat," ujar Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis berkelanjutan (FP2SB) Achmad Manggabarani melalui keterangan resmi, Senin (26/8).

Ia mengakui memang masih terdapat banyak persoalan yang menggelayuti industri sawit, mulai dari kepemilikan Hak Guna Usaha (HGU), kewajiban bantuan oleh perusahaan besar kepada petani plasma sebanyak 20% dan konflik lahan. Namun, penyebab semua itu adalah satu masalah yang sama yakni regulasi yang bersinggungan, tumpang tindih, tidak sinkron antara satu kebijakan di satu kementerian dengan kementerian lain.

“Ini bukan soal benar atau salah. Ini harus dilihat dan dipertimbangkan bagaimana dasar regulasi yang dipakai agar tidak menimbulkan kesalahan persepsi dan menjadi keterlanjuran yang sulit diperbaiki," tuturnya.

Salah satu aturan yang selama ini menimbulkan salah persepsi ialah terkait kewajiban membangun dan bermitra dengan petani plasma, yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007.

Beleid tersebut mengamanatkan Perkebunan Besar Swasta (PBS) maupun Perkebunan Besar Nasional (PBN) untuk membangun plasma sebesar 20% dari luas konsesi. Namun, itu hanya wajib bagi perusahaan yang membuka kebun setelah 2007.

“Jadi perusahaan yang membangun kebun sebelum 2007 tidak wajib membangun kebun plasma karena memang tidak ada aturan yang mewajibkannya. Sayangnya, ada persepsi yang keliru seolah-olah banyak PBS dan PBN tidak mentaati peraturan tersebut,” kata dia.

Tidak berhenti di situ, kewajiban membangun plasma 20% juga memiliki versi yang berbeda-beda antarkementerian.

"Kementerian Kehutanan menghitung 20% dari luasan HGU tapi Kementerian Pertanian menghitung 20% dari luasan areal tanam sehingga butuh lahan clean and clear baru," jelas dia.

Manggabarani meminta pemerintah untuk segera melakukan harmonisasi regulasi supaya tidak saling bertabrakan. Pemerintah juga harus dapat .menahan pernyataan-pernyataan yang bisa memicu kontroversi.

"Pemerintah harus membangun citra positif sawit di dalam negeri. Kalau di dalam negeri saja disudutkan, bagaimana sawit kita bisa diterima di luar negeri," tegasnya.

Pengamat hukum kehutanan dan lingkungan Sadino menyatakan, jika BPK menemukan ada perusahaan yang tidak menerapkan tata kelola dengan baik, harusnya mereka berkoordinasi dengan aparat berwajib dan langsung memanggil perusahaan-perusahaan yang dimaksud.

baca juga: Smelter Freeport Berproduksi 2023

"Bukan berkoar-koar seperti itu. Seharusnya instansi yang membuat pertanyaa soal sawit ya yang memiliki kapasitas. Tapi ini semua instansi, bahkan yang tidak ada kapasitas, mau ikut tampil sehingga memperkeruh suasana," tandasnya. (OL-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya