Headline
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
KALANGAN perbankan dan ekonom menyambut positif langkah Bank Indonesia (BI) yang menurunkan kembali suku bunga acuan atau BI-7 day reverse repo rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,5%, kemarin. Langkah itu diharapkan menstimulus pertumbuhan ekonomi di atas 5%.
"Langkah BI tersebut diyakini akan berdampak positif bagi sektor keuangan perbankan dan sektor riil sehingga mampu menjadi stimulan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di atas 5% tahun ini," kata Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto dalam keterangan resmi, kemarin.
Ryan menambahkan sinyal yang diberikan BI ialah ke depan semua pihak harus terus mewaspadai perkembangan ekonomi global yang terindikasi melambat sehingga BI merasa perlu menjaga ketahanan atau resiliensi ekonomi domestik melalui penetapan suku bunga acuan yang akomodatif (dovish).
"Tinggal kita tunggu hadirnya kebijakan fiskal yang juga akomodatif melalui serapan anggaran yang lebih agresif untuk menguatkan kebijakan moneter BI yang sudah akomodatif sejauh ini," tutupnya.
Penilaian positif juga diungkapkan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah. Dia memandang penurunan suku bunga yang dilakukan Bank Indonesia ditujukan memacu pertumbuhan ekonomi di tengah perlambatan pertumbuhan global. "Saya kira kebijakan ini sudah tepat untuk memacu pertumbuhan ekonomi di tengah perlambatan global," ujar Piter kepada Media Indonesia.
Namun, menurut Piter, masih banyak faktor lain yang turut menentukan berhasil atau tidaknya kebijakan ini. Faktor-faktor seperti pembebasan lahan, koordinasi pusat dan daerah, persoalan perburuhan, dan lainnya masih sangat berpengaruh terhadap realisasi investasi.
"Banyak PR (pekerjaan rumah)-nya. Harus ada koordinasi fiskal moneter dan sektor riil," tandasnya.
Senada, ekonom Indef, Bhima Yudhistira, mengatakan penurunan bunga acuan BI sudah pada momentum yang tepat seiring dengan upaya BI untuk mendorong pertumbuhan kredit dan sektor riil. "Jadi, bukan terlalu cepat," tuturnya.
Dia pun menilai ruang penurunan suku bunga acuan 25 bps masih terbuka hingga akhir tahun menjadi 5.25%.
Penurunan suku bunga itu juga berdampak positif terhadap nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, kemarin sore. Rupiah menguat 5 poin atau 0,04% menjadi 14.235 per dolar AS dari sebelumnya 14.240 per dolar AS.
Tiga alasan
Keputusan penurunan suku bunga acuan itu diambil berdasarkan Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang digelar pada 21-22 Agustus 2019. Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan ada tiga alasan yang mendasari langkah BI.
"Pertimbangan pertama, rendahnya prakiraan inflasi yang berada di bawah titik tengah sasaran pada 2019. Sasarannya ialah 3,5% deviasi 1% dan akan tetap berada dalam sasaran 3% pada 2020," tutur Perry dalam konferensi pers di kantornya, kemarin.
Pertimbangan kedua ialah tetap menariknya imbal hasil investasi aset keuangan domestik sehingga mendukung stabilitas eksternal.
Pertimbangan ketiga ialah sebagai langkah preventif untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi domestik ke depan dari dampak perlambatan ekonomi global. (Ant/E-3)
Kemampuan yang dimiliki itu dapat diasah sehingga mampu berpartisipasi dalam upaya peningkatan ekonomi di daerah, bahkan nasional.
Perekonomian NTB menjadi bergairah dengan adanya Fornas kali ini.
SEJUMLAH pasal yang mengatur berbagai aspek terkait tembakau pada PP Nomor 28 Tahun 2024 menuai kritik. Aturan ini dinilai berdampak negatif terhadap industri dan petani dalam negeri,
KOTA Batu tak hanya lekat dengan suguhan pemandangan alam, kabut, dan kesejukan udara, tetapi juga hamparan perbukitan dan perkebunan milik warga hadir memanjakan mata.
PEMERINTAH dinilai perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan Over Dimension Overloading (ODOL) serta mencari solusi yang komprehensif dan berkelanjutan,
EFEKTIVITAS Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebagai instrumen peningkatan daya beli masyarakat kembali dipertanyakan. Sebab program tersebut tidak memberikan kontribusi signifikan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved