Headline

Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.

Industri Masih Keberatan Terkait Aturan Pencantuman Label

Indriyani Astuti
24/7/2019 16:40
Industri Masih Keberatan Terkait Aturan Pencantuman Label
ilustrasi aturan tentang label dan iklan pada produk susu kental dan analognya( ANTARA FOTO/Galih Pradipta/kye/18)

DIREKTUR Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Edy Sutopi mengatakan aturan mengenai kemasan dan label masih dianggap sebagai pembatasan terhadap industri.

"Aturan pembatasan ini bisa datang dengan label bentuk, iklan, dan promosi," ujarnya saat membuka acara diskusi fokus grup bertema Packaging dan Branding Industry 4.0, di JiExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (24/7).

Hal itu berkaitan dengan aturan pencantuman, baik peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok maupun label informasi kesehatan terhadap produk dengan kandungan tinggi gula, garam, dan lemak (GGL) ataupun penghapusan kata susu dalam produk susu kental manis (SKM).

Pembatasan terhadap kemasan dan label, imbuhnya, dikenakan pada produk konsumsi harian yang dianggap mengancam kesehatan masyarakat termasuk makanan, minuman, alkohol, ataupun rokok.

Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan GGL Serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji, melalui proses tarik ulur dengan pihak industri.

Baca juga: Kemenperin Anggap Aturan Bungkus dan Label Membatasi Pengusaha

Pada 2015, aturan tersebut sempat direvisi menjadi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2015. Pada Permenkes itu, industri yang diatur, diberikan waktu hingga 2019 untuk wajib mencantumkan kadar kandungan GGL.

Impor Kertas Bekas

Edy juga menyoroti persoalan kemasan dan label yang sering dibenturkan dengan isu lingkungan dan kepentingan ekonomi dari produsen. Hal lain yang kerap dikontraskan ialah isu lingkungan (ekologis) dan ekonomi.

Ia mencontohkan kejadian yang menjadi perbincangan ialah temuan sejumlah kontainer berisi impor kertas bekas yang tercampur limbah bahan berbahaya beracun (B3) di Batam dan Surabaya. Limbah itu diduga akan digunakan oleh industri sebagai bungkus kemasan.

Dari segi aturan, Edy mengatakan impor bahan baku plastik tidak boleh mengandung bahan B3. Maka bahan-bahan yang bercampur sampah itu harus dipulangkan ke negara asal.

Menurut Edy, industri khususnya kertas untuk kemasan masih bergantung pada bahan baku impor. Perusahaan kertas, contohnya, membutuhkan bahan baku 6,2 ton kertas per tahun dan 50% terpaksa harus impor karena belum tercukupi dari dalam negeri.

"Perlu sikap yang arif dan bijaksana dalam menyikapinya. Kita harus memilah-milah di situasi kritis atau di normal," tukasnya.(OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya