Headline
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
GABUNGAN Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mendesak pemerintah menerapkan kembali pungutan dana ekspor untuk produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Saat ini, pemerintah memang tengah menangguhkan pungutan untuk komoditas ekspor utama itu. Alasannya, ialah karena harga minyak sawit di level global masih berfluktuasi dengan kecenderungan menurun.
Baca juga: Surat Berharga Komersial Didorong Jadi Solusi Pendanaan
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152 Tahun 2018 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum (BLU) BPDPKS, pungutan ekspor CPO baru bisa dikenakan jika harga menyentuh US$570per ton.
Bila harga berada di kisaran US$570-US$619 per ton, pungutan ekspor CPO ditetapkan sebesar US$25 per ton. Jika harga di atas US$619 per ton, pungutan ditingkatkan menjadi US$50 per ton.
Namun, karena sekarang harga berada di bawah ambang yang ditetapkan, pungutan ekspor pun dinolkan.
Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga berpendapat pembebasan pungutan seperti saat ini malah akan membuat industri sawit dalam negeri semakin terpuruk.
Pada awalnya, skema pungutan itu diterapkan tidak lain untuk membantu pengembangan industri di sisi hilir.
"Sejak 2008 itu sudah digariskan, Indonesia ke depan harus menuju hiliriasi di bidang industri agro berbasis sawit. Untuk mencapai hilirisasi, diciptakanlah formula bea keluar. Untuk produk yang diekspor dalam kondisi mentah (CPO), bea keluar sangat tinggi. Sementara untuk produk jadi pungutannya kecil," ujar Sahat di Jakarta, Kamis (17/5) malam.
Dengan skema tersebut, para pelaku usaha pun berupaya menghindari pungutan besar dengan mengekspor produk jadi. Akhirnya, industri hilir sawit mampu berkembang pesat sejak saat itu.
Namun, kondisi itu seakan tidak bergerak ke arah yang lebih sekarang. Terlebih, diperparah dengan pemerintah yang menangguhkan pungutan ekspor CPO.
Akhirnya, lanjut Sahat, pelaku usaha lebih memilih mengekspor secara mentah tanpa melakukan pengolahan lebih lanjut. "Tidak ada investasi yang berjalan di hilir. Padahal itu adalah upaya yang harus dilakukan demi kembali mengangkat industri sawit," jelasnya.
Maka itu, tidak peduli berapapun harga CPO di level dunia, ia mendesak pemerintah untuk kembali menerapkan pungutan ekspor.
Hasil pungutan tersebut nantinya bisa dijadikan sebagai modal insentif bagi perusahaan-perusahaan yang melaksanakan hilirisasi. "Kita memang sudah semestinya mengurangi ekspor CPO. Direm itu. Kita ekspor produk jadi yang memang sangay dicari oleh pasar," tuturnya.
Baca juga: BI Salurkan Rp217,1 Triliun untuk Ditukarkan Jelang Lebaran 2019
Negara-negara tujuan ekspor, lanjut Sahat, memang lebih mengincar produk jadi dibandingkan CPO. Hal itu dikarenakan terbatasnya kapasitas refinery atau kilang minyak sawit di negara-negara yang menjadi pasar Indonesia.
Dengan begitu, pengadaan barang pun dibuat menyesuaikan dengan kapasitas yang ada. "Mereka itu sudah terlewat manja. Lebih suka impor produk jadi. Mereka tidak mau repot-repit bangun refinery, kelola limbah. Sementara, kita ini sebagian besar ekspornya masih berupa CPO, masih mentah," jelasnya. (OL-6)
DISPARITAS harga antara minyak kelapa sawit dengan solar yang menjadi bahan baku biodiesel mendorong terjadinya kenaikan dana produksi BPDPKS harus mengubah alokasi dana pembiayaan
Dalam upaya mendorong industri sawit berdaya saing dan ramah lingkungan, Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) kembali menyelenggarakan Pertemuan Teknis Kelapa Sawit (PTKS) ke-9.
Kegiatan ini adalah salah satu upaya untuk terus mempromosikan peluang untuk pengembangan usaha perkebunan khususnya sawit.
KOMISI VI DPR RI melakukan Kunjungan Kerja Spesifik ke salah satu sub Holding Perkebunan PTPN III (Persero), PTPN IV PalmCo.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total nilai ekspor Indonesia periode Januari hingga Mei 2025 mencapai US$111,98 miliar, naik 6,98% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
PT Astra Agro Lestari mendorong peran pemuda dalam mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Kawasan perkebunan kelapa sawit.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved