Headline
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
PEMERINTAH memutuskan menunda pungutan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk-produk turunannya. Beberapa pihak pun menilai akan ada dampak buruk dari keputusan tersebut.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Rino Afrino mengatakan pungutan ekspor CPO yang terus dinolkan akan memengaruhi banyak program industri kelapa sawit berkelanjutan, mulai dari peremajaan atau replanting, pengembangan sumber daya manusia, riset dan lain sebagainya.
Pasalnya, selama ini, semua program tersebut bergantung pada dana pungutan yang kemudian dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Tanpa adanya dana pungutan dalam jangka waktu lama, seluruh kegiatan terutama yang menyangkut petani kelapa sawit, petani swadaya pun dikhawatirkan akan terganggu.
Saat ini, Rino menilai harga sawit di level global sudah cukup tinggi, hal itu bisa dilihat dari indeks harga acuan yang dimiliki Malaysia dan Rotterdam. Maka itu, sudah semestinya pemerintah tidak perlu lagi menunda dan para pengusaha harus berkomitmen dengan aturan terkait pungutan dana ekspor.
"Pungutan itu penting untuk masa depan industri sawit. Kita perlu dana untuk peremajaan, untuk diplomasi kampanye di dunia, untuk pengembangan SDM, untuk beasiswa anak petani-petani sawit. Semua itu bisa dilakukan karena ada dana pungutan. Kalau cuma mengandalkan dana CSR perusahaan, APBN, tidak akan cukup," tegas Rino.
Baca juga: Penangguhan Pungutan Ekspor CPO Jadi Insentif Pelaku Usaha
Saat ini, komoditas unggulan Tanah Air itu masih dikenai pungutan ekspor US$0/ton. Alasannya, pemerintah memandang harga CPO di level global masih berfluktuasi dengan kecenderungan menurun.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152 Tahun 2018 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum (BLU) BPDPKS, pungutan ekspor CPO baru bisa dikenakan jika harga menyentuh US$570 per ton.
Bila harga berada di kisaran US$570-619 per ton, pungutan ekspor CPO ditetapkan sebesar US$25 per ton. Jika harga di atas US$619 per ton, pungutan ditingkatkan menjadi US$50 per ton.
Namun, dalam beberapa waktu terakhir harga masih terus bergejolak, pemerintah belum akan melaksanakan kembali pungutan atas penjualan CPO ke mancanegara.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) sedianya telah menetapkan harga referensi teranyar yakni US$595,98 per ton. Angka itu didapat dari rata-rata harga sepanjang 20 Januari hingga 19 Februari lalu. Dengan munculnya harga referensi itu, pemerintah memandang perlu adanya perubahan atas PMK 152 Tahun 2018.(OL-5)
DISPARITAS harga antara minyak kelapa sawit dengan solar yang menjadi bahan baku biodiesel mendorong terjadinya kenaikan dana produksi BPDPKS harus mengubah alokasi dana pembiayaan
Kesepakatan IEU CEPA lebih banyak menyasar penghapusan hambatan tarif, sementara tantangan utama ekspor sawit Indonesia ke Eropa justru berasal dari hambatan non-tarif.
Tanpa mau belajar dari pengalaman negara lain, kita akan terjerumus ke dalam lubang menganga yang sudah kita ketahui sebelumnya.
KOMISI VI DPR RI melakukan Kunjungan Kerja Spesifik ke salah satu sub Holding Perkebunan PTPN III (Persero), PTPN IV PalmCo.
RENCANA penguatan kerja sama perdagangan antara Indonesia dan Rusia di sektor minyak kelapa sawit (CPO), pupuk, dan daging dinilai menjanjikan.
dua kriteria sumber daya alam yang berpotensi dimanfaatkan untuk pendanaan Indonesia mendapai Net Zero Emission pada 2060.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved