Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
Pasar yang terbuka lebar bukan satu-satunya jaminan kesuksesan. Komitmen dan kerja keras meningkatkan nilai tambah yang membuat Puya-Puyuh eksis.
ENGGAK banyak anak muda yang merintis bisnis di dunia peternakan. Namun, Pratama Al Firdaus bersama dua anggota timnya berkeras memilih bisnis puyuh, mulai peternakannya, menjual telurnya, hingga mengolahnya jadi aneka menu.
Kendati sempat rugi ketika puyuh mereka mogok bertelur, mereka tak cepat menyerah dan kini bahkan meluaskan bisnis dengan melakukan nilai tambah. Daging puyuh mereka olah menjadi lauk siap goreng, sedangkan telurnya mereka olah jadi telur asin. Sementara itu, perpaduan daging dan telur mereka jadikan keripik.
Simak obrolan Muda dengan Pratama, pendiri Puya-Puyuh ya!
Ceritakan dong perjalanan bisnis kamu?
Mulanya aku dan teman-teman ikut Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) dari kampus. Jadi mengajukan proposal, terus presentasi dan alhamdulillah lolos.
Setelah itu dapat pendanaan dari pihak kampus untuk memulai usaha. Sebelumnya, kami ikut pelatihan ternak puyuh dulu, cari tahu bagaimana cara ternak. Setelah dapat ilmunya baru kita mulai usahanya. Kira-kira April 2016 kami mulai usaha ternak puyuhnya.
Awalnya, kami mulai dengan 300 telur tetas, ambil bibit dari Sukabumi, Jawa Barat. Kami tetaskan karena alhamdulillah sudah bangun peternakan sendiri. Dari 300 telur, 80%-nya menetas.
Kami kembangkan terus, tiap ada yang bertelur diternak lagi, jadi semakin banyak. Usaha ternak kami, produk utama yang dihasilkan adalah telur dan daging puyuh. Selain itu, kami juga membuat inovasi dengan menghasilkan keripik puyuh, telur puyuh asin, puyuh ungkep, dan abon.
Proses penetasan puyuh itu sendiri bagaimana?
Prosesnya, pertama pas kita beli telur tetas itu kita masukan ke mesin penetas. Kalau puyuh itu nggak lama waktunya, sekitar 17 hari dia sudah mulai menetas.
Dari sana kita pindahkan ke kandang khusus, buat puyuh yang masih kecil, sekitar 0-21 hari, kita masukkan ke ruang khusus, ada sinar lampu. Jadi mereka enggak kedinginan. Dari situ sampai umur 30 hari baru kami pisahkan antara jantan dan betina. Untuk puyuh betina dibiarkan bertelur lagi sedangkan yang jantan, umur 45 hari dipotong untuk diambil dagingnya.
Kalian juga produksi telur asin puyuh ya?
Puyuh itu menghasilkan dua jenis telur, konsumsi dan tetas. Telur konsumsi didapat dari puyuh betina, jadi tanpa dibuahi dia sudah bisa bertelur. Kalau telur tetas harus dibuahi dulu baru bisa ditetaskan. Untuk telur asin, digunakan telur konsumsi. Cara pembuatannya enggak jauh beda dari pembuatan telur asin biasanya, bedanya waktunya lebih singkat. Karena cangkangnya nggak terlalu tebal, jadi proses pengasinannya tidak lama, sekitar tiga hari.
Nah, untuk daging puyuh olahan, proses produksinya seperti apa?
Kami mengolahnya menjadi keripik, ungkep, dan abon. Kalau untuk keripik, diambil daging, diolah, dicampurkan dengan telurnya juga, ditambah bahan-bahan lain lalu jadilah keripik.
Keripik puyuh ini inovasi sendiri, awalnya karena waktu itu kita ikut Expo Kewirausahaan Mahasiswa Indonesia di Universitas Brawijaya, Malang.
Saat itu jarak dari Jakarta ke Malang lumayan jauh. Jika kami bawa puyuh ungkep, enggak tahan lama. Jadi kami coba berpikir membuat olahan yang bisa awet, kami cari inovasi lain dan jadilah keripik ini. Ternyata respons pasarnya alhamdulillah, di hari pertama pameran, keripik langsung habis.
Bagaimana cara promosi kalian, karena jenis produknya belum lazim?
Awalnya masih susah untuk membangun kepercayaan konsumen karena orang masih belum tahu pasti tentang puyuh itu sendiri. Tapi kami coba beri tester dan ternyata mereka suka.
Menurut mereka, daging puyuh itu lebih gurih. Karena mereka suka, akhirnya pesan lagi. Kalau untuk penjualan, kita pakai reseller dan jual online. Jadi ada beberapa reseller, mereka berjualan dengan titip di beberapa sekolah. Paling banyak, kami titip di pesantren, karena daerah tempat kami tinggal, Depok, Jawa Barat, banyak pesantren. Alhamdulillah tiap bulannya selalu ada peningkatan penjualan.
Harga produknya?
Merek kami, Puya-Puyuh, untuk yang keripik Rp12 ribu, ukurannya 140 gr. Telur asin Rp400 per telur, puyuh ungkep 1 cup isi 4 daging Rp32 ribu yang berukuran sedada ayam.
Kenapa pilih bisnis puyuh?
Pertama, karena saya lihat telur puyuh sendiri pasokannya masih kurang. Para peternak puyuh bilang, mereka masih kewalahan untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Kedua, dari cara berternak. Puyuh itu hanya butuh 45 hari untuk mulai bertelur, jadi nggak lama. Lebih simpel. Lahannya juga enggak perlu luas, hanya butuh kira-kira 1 meter sudah bisa menampung sekitar 500 ekor puyuh. Bisnis ini menjanjikan banget karena yang saya lihat orang mulai tahu bahwa ternyata daging puyuh bisa dikonsumsi dan lebih enak dari daging ayam.
Bagaimana pembagian tugas kalian?
Saya dan tim yaitu Eldi Haditama dan Taufik Husein, kini sudah dibantu dua karyawan tetap dan 5-6 karyawan lepas yang direkrut kalau pesanan banyak.
Tantangan dalam menjalankan bisnis puyuh?
Saat banyak pesanan, terutama dagingnya, kami masih belum mampu memenuhi. Jadi misalnya ada pesanan daging ungkep dengan jumlah besar, kadang di peternakan, belum bisa memenuhi jumlah itu, jadi harus cari ke pasaran. Padahal, di pasar pun masih jarang.
Kami juga pernah rugi, jadi di awal usaha, bener-bener rugi. Saat itu awal banget berternak, puyuhnya belum bertelur-telur. Harusnya 45 hari sudah bertelur, tapi mereka nggak bertelur juga. Lalu kita pelajari lagi, ternyata kesalahannya di pakan.
Terus juga kadang kalau lagi rekrut karyawan lepas, karena mereka masih baru, gorengnya keripiknya suka gosong.
Cara kalian mengelola waktu?
Pagi, kami bersihkan kandangnya, kasih makan, panen telurnya. Kira-kira sejam. Sorenya dikasih makan lagi. Jadi, enggak terlalu bentrok jadwal kuliah dan menyita waktu.
Kiat buat mereka yang ingin merintis bisnis?
Tidak usah takut mencoba, harus berani ambil risiko. Kalau bisa sedini mungkin sudah bisa mulai mengembangkan usaha. Jadi ketika tua nanti, tinggal menikmati hasilnya. Jangan takut kalau produk kita nggak laku di pasaran, harus yakin dengan produk kalian, tergantung bagaimana mengelolanya. (M-1)
Syifa Amelia, Jurusan Jurnalistik
Politeknik Negeri Jakarta
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved