Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Sosok Pahlawan Pangan Masa Kini

Rifaldi Putra Irianto
08/9/2024 05:30
Sosok Pahlawan Pangan Masa Kini
Svarna Bhumi Awards 2024.(Dok. PUPUK INDONESIA)

SVARNA Bhumi Awards kembali digelar pada Minggu (8/9). Penghargaan itu diberikan kepada sosok di seluruh Indonesia yang berkontribusi bagi bangsa dan negara dalam menjaga ketersediaan pangan. Mereka adalah pahlawan pangan. Tahun ini terdapat 6 penerima penghargaan. Salah satunya menerima Special Achievement. Berikut para penerima Svarna Bhumi Awards.

 

Sandy Octasusila

Baca juga : Terus Melaju Menggapai Mimpi

Sandy Octasusila merupakan putra daerah Cianjur, Jawa Barat, yang mulai menekuni bisnis pertanian pada 2014. Saat itu, dia masih menjadi mahasiswa semester 5 IPB. Petani muda berusia 32 tahun yang akrab disapa Kang Sandi itu menjabat sebagai Ketua Kelompok Tani Mitra Tani Parahyangan yang membawahkan 385 petani binaan. Ia pun mendirikan perusahaan Mitra Tani Parahyangan.

Hampir satu dekade sandi menjalankan Mitra Tani Parahyangan sebagai roda utama untuk memenuhi kebutuhan sayuran di beberapa provinsi di Indonesia. Bersama para petani binaannya, sandi mengelola lahan milik pribadi seluas 8 hektare dan juga dipercaya oleh PT Perkebunan Nusantara VIII untuk mengolah 94 hektare lahan yang tidak produktif agar dimaksimalkan untuk budi daya tanaman kebun.

Baca juga : Keterbatasan Ekonomi bukan Hambatan untuk Sekolah Tinggi

Sandy pun menegaskan penghargaan itu menjadi dukungan dalam akselerasi regenerasi petani muda ke depan.

“Ingin saya sampaikan bahwa bicara ketahanan pangan, bicara kedaulatan pangan, tentunya kami tidak pernah lelah. Dan, insya Allah di seluruh provinsi kita sudah banyak kehadiran ‘Sandy Octa’ (petani muda) yang lain, dan tentunya saya hanya ingin menyampaikan ‘no farmer, no food, no future’,” ucapnya.

 

Baca juga : Angkasa Pura dan Kick Andy kembali Salurkan Bantuan Kaki Palsu di Bandara Soetta

Wilhelmina Mali Dappa

Perempuan kelahiran 24 Agustus 1974 itu merupakan seorang petani yang gigih memperjuangkan kemajuan petani, khususnya para perempuan di Desa Wee Kokora, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Perempuan yang akrab dipanggil Mama Mina itu hanya lulusan SMA. Kendati begitu, ia bersama ibu-ibu petani mampu membentuk kelompok tani dan koperasi.

Baca juga : Berdayakan Perempuan Desa lewat Pertanian

Anggota kelompok tani tersebut berhasil meningkatkan lima kali lipat penghasilan dari Rp200 ribu per bulan menjadi Rp4 juta per bulan. Mama Mina juga melakukan kegiatan pemberdayaan perempuan dengan menciptakan produk-produk olahan makanan dari hasil pertanian. Saat ini Mama Mina mengelola lahan seluas kurang lebih 2 hektare di Sumba Barat Daya dengan menanam berbagai jenis hortikultura, palawija, hingga kopi.

“Sebagai petani, kami merasa luar biasa sekali menerima penghargaan ini. Sebagai petani, saya merasa kecil, tapi ketika berada di sini, puji Tuhan saya merasa bangga dengan hal yang terjadi ini. Terima kasih, sekali lagi. Penghargaan ini saya persembahkan untuk ibu saya, suami, anak, dan cucu saya,” Kata Mama Mina saat menerima penghargaan.

 

Ulus Pirmawan

Ulus mulai bertani sejak kecil. Kondisi ekonomi orangtua yang pas-pasan membuat Ulus hanya mampu mengenyam pendidikan di sekolah dasar.

Suka duka sebagai petani sudah Ulus alami, terutama dalam memasarkan produk pertanian miliknya. Awalnya dia kurang puas terhadap pengepul di desanya. Ulus berusaha mencari pengepul yang berani membeli dengan harga tinggi. Lalu dia berinisiatif memasarkan sendiri produknya ke pasar. Ulus pun bertransformasi dari petani menjadi pengepul. Dia bahkan pernah mengekspor baby buncis hingga ke Singapura.

Kesuksesannya tidak pernah dia nikmati sendiri. Melalui Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Wargi Panggupay yang ia ketuai, Ulus membagi ilmunya kepada para petani di desanya (Lembang) untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Ulus berhasil memberdayakan banyak warga di desanya serta menerima berbagai penghargaan, di antaranya dari Organisasi Pangan Dunia (FAO) sebagai petani teladan se-Asia Pasifik pada 2017. Baginya, petani adalah profesi yang tidak kalah dengan profesi lainnya

“Bertani itu keren, sangat keren. Jadi alhamdulillah pertanian yang selama ini dipandang sebelah mata, sekarang sudah mulai dipelototin mata. Karena dengan munculnya program petani milenial, alhamdulillah ke depan indonesia menjadi lumbung pangan dunia. Itu pasti,” ucap Ulus saat menerima penghargaan.

 

Suparjiyem

Menjadi petani adalah pilihan. Suparjiyem menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk kemandirian dan meningkatkan derajat petani. Warga Desa Wareng, Gunungkidul, DI Yogyakarta, itu juga dikenal sebagai penggiat pangan lokal. Menurutnya, banyak pangan lokal yang tidak banyak dilirik dan dimanfaatkan.

Ketersediaan air menjadi kendala di musim kemarau. Suparjiyem dan petani lain berinisiatif membuat embung, bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada dan bantuan dari pemerintah.

Selain fokus di ladang, Suparjiyem juga mendorong para perempuan di desanya untuk memanfaatkan potensi pangan lokal lewat Kelompok Petani Wanita Menur yang didirikan pada 1989. Setiap pertemuan diisi dengan diskusi membahas pertanian, simpan pinjam, hingga pembuatan produk minuman herbal.

“Kebetulan saat ini kami sedang mempergunakan lahan yang tidak produktif dengan saya tanami empon-empon di lingkungan pekarangan. Empon-empon itu, yang bernilai rendah umpamanya, dijual Rp3.000 per kilogram, tapi bisa menjadi bernilai tinggi mencapai Rp150 ribu setelah kami olah. Saya bangga menjadi seorang petani karena dari profesi itu saya bisa menyekolahkan anak dan hidup layak. Petani adalah panggilan hati saya dan saya sangat bahagia,” tukas Suparjiyem.

 

Jarwanto Tri Anggoro

Sebagai petani, Jarwanto Tri anggoro merupakan sosok petani yang aktif dan inovatif. Warga Desa Banyurip, Sragen, Jawa Tengah, itu tercatat sebagai Ketua Gapoktan Banyurip dan Sekretaris Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Banyurip Lestari.

Pada awalnya petani di Banyurip hanya menanam tebu, jagung, dan padi. Sampai akhirnya Jarwanto mulai menanam komoditas kacang sancha ichi. Siapa sangka tanaman itu memiliki banyak keunggulan, di antaranya mudah dibudidayakan dan punya banyak manfaat. Daunnya bisa dibuat sebagai sayur dan keripik. Kacang sacha inchi juga memiliki nilai jual yang cukup tinggi yakni Rp15 ribu per kilogram.

Inovasi lain yang juga digagas Jarwanto dan warga desa Banyurip ialah menghadirkan instalasi pemanenan air hujan (IPAH) hybrid, yakni instalasi pemanen air hujan yang dimodifikasi dengan penambahan fungsinya sekaligus sebagai sumber resapan air (SRA). Itu sangat membantu pertanian di Banyurip yang memiliki tekstur tanah kering.

Saat ini terdapat 69 unit IPAH dan 37 unit SRA. Inovasi itu dapat menghemat pengeluaran air bersih sekitar 50%. Sebelumnya warga Banyurip secara kolektif harus mengeluarkan uang Rp1 miliar untuk membeli air bersih saat musim kemarau.

“Di tempat saya itu lahannya sangat marginal, Bapak, Ibu. Jadi kalau menanam di tempat kami itu perlu upaya yang sangat keras untuk tumbuh, karena lahan tempat kami adalah lahan kering. Alhamdulillah kami sekarang bisa bertani dengan lebih baik,” ucap Jarwanto.

 

Gestianus Sino (Special Achievement 2024)

Kupang, Nusa Tenggara Timur, cenderung kering akibat curah hujan yang relatif rendah. Di antara tanah tandus itu terdapat lahan pertanian yang menghasilkan beragam jenis tanaman pangan. Lahan itu milik Gestianus Sino. Petani muda lulusan Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana itu mampu mengubah lahan tandus bebatuan di Desa Penfui Timur, Kupang, menjadi hijau. Ia juga mendirikan usaha pertanian bernama GS organik.

Bermula dari bekerja di bidang pertanian sejak lulus kuliah, Gestianus kemudian mengumpulkan modal hingga mampu membeli lahan seluas 1,2 hektare di Desa Penfui Timur. Pada 2014 namanya kian santer terdengar di Kupang. Banyak petani yang belajar kepadanya cara mengolah lahan pertanian sehingga mereka mampu mengolah lahan di daerah sendiri.

Semangat berbagi ilmu tentang pertanian itu ia wujudkan melalui Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) GS Organik. Gestianus juga berkeliling ke desa-desa di NTT untuk membagi ilmu pertanian kepada para petani. Kini sudah banyak warga di desanya yang mulai bercocok tanam.

“Saya merasa kegiatan ini bukan hanya untuk saya mendapat penghargaan, tetapi seluruh pejuang petani berkelanjutan yang saat ini sedang bergelut di daerah masing-masing. Saya membayangkan kita punya kesamaan misi bahwa Indonesia akan menjadi indonesia Emas di 2045, juga Indonesia Hijau di 2045, dengan cara bagaimana kita menjaga pertanian, menanam selaras alam, demi meregenerasikan anak masa depan bangsa bahwa lingkungan yang sehat bisa untuk bertani dengan baik,” tandas Gestianus saat menerima penghargaan. (Rif/M-4)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya