Minggu 19 Maret 2023, 05:10 WIB

Kesederhanaan Masyarakat Ende

Anas Ahmadi | Weekend
Kesederhanaan Masyarakat Ende

DOK ANAS AHMADI
Tari Presean.

 

JIKA Anda melakukan ziarah antropologis ke Lombok, jangan lupa mengunjungi Desa Ende di Lombok Tengah. Ende ialah sebuah desa adat dan menjadi destinasi wisata bagi turis baik dalam negeri maupun luar negeri. Sebagai desa adat, Ende sampai saat ini masih mempertahankan lokalitas mereka.

Dalam paradigma indigenous studies, Desa Wisata Ende terkategorikan dalam indigenous village sebab di dalamnya masih sangat kuat kedekatan dan kecintaan mereka terhadap alam. Penduduknya juga masih memegang teguh ketradisionalan dalam kehidupan keseharian.

Sebagai sebuah desa adat, Ende mempertahankan diri untuk tetap eksis, tidak mengubah jati diri di tengah gempuran modernitas. Untuk itu, Ende patutlah diberi julukan desa heritage. Julukan tersebut tidak serta-merta dimunculkan, tetapi lantaran Ende memiliki kriteria sebagai berikut.

 

Aspek bangunan

Dari aspek bentuk bangunan yang ada di Ende, rumah di sana masih tradisional, dibangun dengan menggunakan bahan alam. Bagian atapnya menggunakan daun ilalang yang dirajut, sedangkan dinding menggunakan bilah bambu yang dianyam sedemikian rupa. Lantai masih natural (tanah), belum disemen/dikeramik.

Masyarakat Ende juga memiliki lumbung padi yang menggunakan bahan dari daun ilalang yang dirajut dengan unik. Lumbung tersebut dibuat seperti rumah, tetapi dibangun lebih tinggi dan memiliki kaki-kaki agar terhindar dari hama tikus. Selain itu, mereka biasanya punya bangunan bale-bale yang digunakan untuk bersantai ataupun digunakan untuk ritual.

 

Aspek keseharian

Dalam kehidupan keseharian masyarakat Ende, kegiatan memasak masih menggunakan periuk dari tanah. Peralatan dapur lainnya, seperti tungku, juga menggunakan bahan dari tanah liat. Bahan-bahan untuk peralatan rumah tangga tersebut dibuat sendiri oleh penduduk dengan cara manual. Dari segi mata pencarian, masyarakat masih mengandalkan kehidupan bertani dan berladang, sementara kesenian tradisional juga masih diturunkan ke anak cucu, seperti Tari Presean.

 

Aspek filosofis

Masyarakat Desa Ende sangat mencintai desa mereka dengan mempertahankan warisan dari nenek moyang secara turun-temurun. “Kami hidup dengan cara sederhana dan tradisional, tetapi bangga dan tidak malu ketika dianggap sebagai masyarakat yang ketinggalan zaman,” kata seorang ibu yang penulis temui.

Ende merupakan desa yang sampai saat ini masih tradisional dan masih mempertahankan ketradisionalan mereka. Ende tidak ingin menjadi bagian dari global village, tetapi lebih suka menjadi indigenous village. Bukan desa dengan cita rasa kota. Di Ende, kita bisa menemukan rumah yang beratapkan rumbia, dinding dari anyaman bambu, dan lantai yang masih asli dari tanah.

Para wisatawan umumnya tertarik datang ke situ karena ingin melihat dari dekat kehidupan di desa adat tersebut. Udara yang masih segar, tanah yang belum di aspal, dan rumah tradisional yang natural dan klasik bagi mereka amat menarik. Mereka, para turis, juga bisa merasakan mandi di alam terbuka. Tentunya, hal tersebut tidak bisa mereka temui ketika hidup di perkotaan.

Namun, sampai kapan desa itu mampu bertahan di tengah gempuran zaman? Dalam konteks antropologis, memang bakal ada mereka yang survive dan terempas.

Jika mengacu pada konseptualisasi antropolog Simon C Woodward dan Louise Cooke, agar bisa bertahan di tengah kemajuan zaman, desa tersebut harus memiliki konsepsi/strategi atau rencana. Dalam konteks itu, perlu koordinasi berbagai pihak dalam mengonsepsikan/merencanakan kegiatan untuk mempertahankan desa itu sebagai desa heritage. Selain itu, perlu manajemen. Pihak yang berwenang, baik pemerintah setempat ataupun kepala desa, harus menjalankan manajemen yang sudah dirancang secara baik dan optimal.

Upaya lainnya ialah konservasi. Itu penting dilakukan, misalnya dengan cara melakukan pendokumentasian, digitalisasi, dan pewarisan kepada anak cucu. Untuk itu, kiranya Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Indonesia memang harus memberikan perlindungan terhadap Desa Ende agar tetap bertahan. Bahkan, bila perlu, desa itu dimasukkan ke kategori museum village. Hal yang tidak kalah pentingnya ialah masyarakat harus bangga menjadi bagian dari desa tersebut. (M-3)

 

Penulis ialah pengurus Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jawa Timur dan dosen Sastra Lisan Universitas Negeri Surabaya (Unesa).

Baca Juga

AFP/Roslan

Rekomendasi Destinasi Liburan Luar Negeri sambil Puasa

👤mediaindonesia.com 🕔Sabtu 25 Maret 2023, 15:09 WIB
Tiket.com merekomendasikan beberapa destinasi liburan di dua negara tetangga yakni Malaysia dan Singapura yang bisa dikunjungi dengan...
MI/Devi

Diklaim Berbujet Termahal, Buya Hamka Rilis Tiga Trailer

👤Devi Harahap 🕔Sabtu 25 Maret 2023, 05:53 WIB
Film biopik ini akan tayang di jaringan bioskop mulai 20 April...
IG @kadekarini

Kadek Arini Bagikan Tip Mudik Nyaman dengan Anak

👤Devi Harahap 🕔Jumat 24 Maret 2023, 15:05 WIB
4 tip mudik yakni sesuaikan waktu dengan jam tidur anak, siapkan mainan dan makanan, pilih tempat duduk sesuai dan lokasi hotel yang...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

Top Tags

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya