Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
SEMENJAK pandemi covid-19, sektor kesehatan, termasuk soal tenaga kesehatan, menjadi perhatian. Sebagai garda terdepan dalam penanggulangan pandemi, keberadaan mereka dirasakan semakin penting pada masa depan, terlebih dengan munculnya penyakit-penyakit baru yang juga didorong perubahan iklim.
Dalam Kick Andy episode Kesehatan di Tangan Kita yang tayang hari ini pukul 21.05 WIB di Metro TV, dihadirkan para pahlawan kesehatan di daerah-daerah terpencil. Acara itu juga dipandu co-host Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Salah seorang pahlawan kesehatan ialah Medianto Rombetasik. Pria yang akrab disapa Medi itu merupakan lelaki asli Toraja, Sulawesi Selatan, yang memilih untuk mengabdi di pedalaman Kalimantan setelah menyelesaikan pendidikan dokter pada 2000.
Saat ia datang ke Kabupaten Bulungan, kabupaten tersebut masih menjadi bagian dari Kalimantan Timur bagian utara yang berbatasan langsung dengan daerah pedalaman Malaysia. Pada 2012, Kabupaten Bulungan di mekarkan menjadi bagian dari Kalimantan Utara.
Hadir di Kick Andy, ia mengungkapkan berlikunya perjalanan untuk mencapai tempat kerjanya, termasuk dengan berganti-ganti moda transportasi. Mulai menaiki kapal laut dari Makassar ke Balikpapan, lalu dilanjutkan dengan pesawat perintis untuk sampai di Tanjung Selor, lalu berkali-kali menyeberang dengan perahu ketinting dan dilanjutkan dengan perjalanan darat untuk sampai di Puskesmas Pimping, tempatnya ditugaskan saat itu.
"Waktu itu akses ke pedalaman-pedalaman itu sangat susah dan peralatan masih sangat minim," ujar Medi.
Menjadi satu-satunya dokter umum di puskesmas itu, Medi dipaksa oleh keadaan untuk bisa menangani berbagai macam penyakit demi melayani delapan desa di Kabupaten Bulungan. Bahkan, ia juga harus menangani penyakit yang sebenarnya menjadi ranah dokter spesialis, seperti menangani persalinan dan operasi.
Ia ciptakan ruang perawatan sendiri sebab puskesmas tersebut sebenarnya tidak difungsikan untuk layanan itu. Ia pergi ke ibu kota demi mendapatkan cairan infus untuk pasien diare dan malaria karena jika musim diare dan malaria datang banyak pasien yang memerlukan cairan tersebut.
Salah satu pengalaman mendebarkan ialah mengantarkan ibu hamil dirujuk ke rumah sakit di Tarakan dengan mengarungi laut menggunakan perahu berkapasitas enam orang. Karena ombak yang begitu kencang dan goncangan yang besar, ibu hamil tersebut akhirnya melahirkan di atas perahu.
Di luar jam kerja, entah hari libur ataupun malam hari, pasien masih saja datang padanya. Tak jarang masyarakat membayarnya dengan hasil tani karena mereka tidak memiliki uang. "Kalau orang berobat bawa beras, berarti sudah tidak punya sama sekali di rumah untuk dimakan. Jadi, saya kembalikan beras itu, tapi kalau bawa buah-buahan, ayam, atau sayur, saya terima," ungkapnya.
Betapa banyak pun pasien yang harus ditangani, Medi merasa bersyukur karena sebelumnya masyarakat lebih percaya kepada dukun. Pelayanan kesehatan yang diberikannya kemudian juga dibantu para kader posyandu dari 30 posyandu yang ada di sana.
Setelah enam tahun mengabdi, pada 2006, seorang temannya mendorong Medi untuk melanjutkan ke pendidikan dokter spesialis. Pada awalnya Medi ingin mengambil bidang spesialis kebidanan mengingat kebutuhan warga setempat. Namun, karena terkendala biaya, ia memutuskan untuk menjadi dokter spesialis bedah di Universitas Hasanuddin, Makassar, yang menjadi tempatnya lulus sarjana kedokteran.
Biaya perkuliahan ia penuhi dengan membantu praktik para profesornya. Pendidikan dokter spesialis bedah ia selesaikan dalam waktu lima tahun. Sembari menunggu surat tanda registrasi (STR) keluarga, Medi sempat bekerja menjadi dokter di pedalaman Sulawesi Tengah dengan insentif lebih tinggi dari tempatnya mengabdi sebelumnya. Pada 2013, Medi kembali ke Kabupaten Bulungan.
Inovasi minim fasilitas
Kini Medi berpraktik di RSD dr H Soemarno Sostroatmodjo Tanjung Selor yang menjadi rumah sakit rujukan di Bulungan dan menjadi rumah sakit penopang kabupaten tetangga, seperti kabupaten Tanah Tidung, Malinau, serta Kabupaten Berau.
Awal kariernya sebagai dokter bedah pada 2013, tak jarang ia lakukan operasi dengan senter lantaran listrik padam. Selain itu, Medi harus berpraktik dengan tidak adanya trepanasi bor, kurangnya benang jahit untuk hati, tidak adanya spesialis ortopedi.
Dengan berbagai keterbatasan fasilitas dan tenaga kesehatan itu, ia harus berinovasi tanpa mengurangi standar keselamatan pasien yang tinggi. Ia pun harus memodifikasi alat.
Ayah dari tiga anak itu sama sekali tidak berpikir untuk balik modal setelah menjadi dokter spesialis. Hatinya sudah terpanggil bahwa ilmu kedokteran yang ia miliki untuk membantu sesama. Tak jarang ia menanggung biaya pasien yang tidak mampu.
Meski selama pengabdiannya di daerah terpencil tidak senilai dengan pendapatan yang ia dapat, Medi percaya bahwa hidup tidak semata-mata karena uang. Sebab itu pula ia aktif dalam paguyuban dan organisasi yang membuat berbagai kegiatan bakti sosial, baik donor darah maupun pembagian sembako. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved