Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
MASYARAKAT agraris umumnya mempunyai kedekatan kultural dengan hewan seperti sapi atau kerbau untuk membantu mereka membajak sawah. Kedekatan ini, misalnya, bisa ditelusuri dari relief Karmawibhangga Borobudur, yang menurut Haryono (2013:82), menampilkan aktivitas membajak sawah (amaluku) dengan menggunakan kerbau. Kedekatan ini juga sering kali diekspresikan dalam ritual, seperti ritual keboan pada masyarakat Osing di Banyuwangi, Jawa Timur.
Akan tetapi, di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, ada keunikan lain. Masyarakat agraris di desa ini justru sangat lekat dengan kucing. Bagi masyarakat Dukuh Jambu, Desa Pelem, kucing merupakan sebuah media untuk menjembatani masa lalu dengan masa kini, antara nenek moyang dan modernitas, juga antara sawah dan hujan.
Setiap musim kemarau panjang, masyarakat desa ini akan melaksanakan ritual Manten Kucing. Tujuannya memohon hujan dengan cara memandikan sepasang kucing di sebuah punden (tempat keramat) berupa sumber air yang berada di bawah pohon jambu tua.
Menurut Mbah Sandi, 75, ritual ini telah ada sejak zaman Belanda. Ritual ini, kata dia, muncul dari mitos Eyang Sangkrah dan kucing condromowo-nya.
Sejarah ritual
Lelaki yang berperan sebagai tukang ujub tersebut menuturkan dahulu di Desa Pelem pernah dilanda kemarau panjang. Sawah gagal panen. Kelaparan terjadi di mana-mana. Masyarakat pun gelisah. Semua usaha untuk mendatangkan hujan berakhir sia-sia. Hujan tak kunjung turun.
Hal ini berlangsung lama, hingga salah seorang janda, bernama Eyang Sangkrah yang masih keturunan Eyang Brahim, sang pendiri desa, yang mempunyai seekor kucing hitam legam (condromowo), dipercaya mandi di sumber air yang kini disebut Coban Kromo. Saat itu kucing kesayangannya tersebut dengan setia mengikuti Eyang Sangkrah. Pada saat mandi itulah, diyakini kucing jantan tersebut melompat ke air dan ikut mandi bersama Eyang Sangkrah. Tidak lama berselang, langit mulai menghitam. Awan pekat mulai menggantung di Desa Pelem dan akhirnya hujan yang telah dinanti kembali mengguyur bumi yang kerontang. Masyarakat bersukacita. Mereka mengasosiasikan kejadian tersebut dengan perisitwa mandinya Eyang Sangkrah dan kucing kesayangannya.
Agus Nugroho, 56, mantan lurah desa, yang berhasil mengangkat ritual Manten Kucing ke tingkat kabupaten, mengatakan selang bertahun-tahun setelah kejadian itu, saat desa dipimpin Demang Sutomedjo, sekali lagi, kemarau panjang melanda desa. Sawah kekeringan dan desa kembali diselimuti kekawatiran akan gagal panen dan kelaparan. Saat itu Demang Suto Medjo berdoa memohon petunjuk kepada Tuhan untuk mengatasi masalah tersebut. Ia lantas mendapatkan wisik untuk sekali lagi mengadakan ritual Manten Kucing seperti yang dahulu dilakukan Eyang Sangkrah. Ritual pun kembali diadakan dan sekali lagi hujan mengguyur Desa Pelem.
Selepas era Demang Suto Medjo, menurut catatan Florean (2014), ritual ini mengalami beberapa perkembangan. Sampai akhirnya di era Lurah Agus Nugroho yang mulai mengemas Manten Kucing bukan hanya sebagai ritual sakral, melainkan juga sebagai seni pertunjukan.
Aktivitas yang dahulunya sebatas memandikan kucing (ngedus kucing), seiring perkembangannya, bertambah kompleks dan membutuhkan persyaratan yang lebih rumit dalam pelaksanaannya. Transformasi ini kemudian turut mengubah nama ngedus kucing menjadi ritual Manten Kucing. Akan tetapi, terlepas dari perkembangannya yang pesat, kucing tetap digunakan sebagai inti dari ritual agraris ini.
Kucing di berbagai budaya
Bila dilihat dari perspektif yang lebih luas, kucing selalu mempunyai tempat tersendiri dalam berbagai kebudayaan. Sebagaimana dilansir pada laman Ancient History Encyclopedia: cats in the ancient world, kucing setidak-tidaknya mempunyai hubungan kultural pada beberapa kebudayaan kuno dunia, seperti Mesir, India, Tiongkok, dan Jepang. Hal ini juga ditegaskan oleh Barbara Holland dalam tulisannya berjudul Secrets of the Cat, its Lore, Legend, and Lives (2010). Menurutnya, di berbagai kebudayaan, kucing selalu berperan sebagai alat untuk berkomunikasi dengan sesuatu yang tidak bisa dijangkau manusia. Bagi bangsa Mesir kuno, misalnya, kucing selalu dikaitkan dengan dunia orang mati. Sementara itu, dalam mitologi Nordik, hewan ini dihubungkan dengan dunia ular bawah laut. Kucing, singkatnya, dijadikan sebagai media komunikasi dalam berbagai kebudayaan kuno di dunia.
Dalam tradisi Islam, kucing juga mendapatkan posisi istimewa. Konon salah satu hewan kesukaan Nabi Muhammad SAW ialah kucing (Ummah, 2018). Ummah lebih lanjut menjabarkan bahwa salah satu kucing yang dimiliki Nabi bernama Mueeza selalu mengeong saat mendengar azan.
Dalam dunia sastra, para pujangga juga tidak segan membuat syair bagi kucing peliharaan mereka. Dalam buku Cats of Cairo sebagaimana dikutip Ummah (2018) sultan dari dinasti Mamluk, Baybars al Zahir, sengaja membangun taman-taman khusus bagi kucing dan menyediakan beragam makanan di dalamnya. Tradisi ini terus hidup hingga saat ini. Pada kota-kota besar di negara Islam seperti Kairo, Damaskus, atau Istanbul, kucing-kucing bisa dengan bebas berkeliaran di pojok sejumlah masjid tua dengan berbagai makanan yang disediakan penduduk sekitar.
Kucing juga amat lekat pada tradisi-tradisi di Nusantara. Dalam Serat Ngalamating Kucing (Mirya, 2017) dijabarkan beberapa jenis kucing baik yang memberikan keberuntungan maupun sebaliknya. Beberapa kucing tersebut antara lain, Kucing Kembang Asem, Putra Kajetaka, Durjana Kapethuk, Wisma Mumama, Tampar Tali Wangsul, Kali Ngumbara, Baya Ngacar, Lintang Kemukus, Wulan Krahingan, Leksana Nira, Pujanggana Mengku, Satriya Tapa, dan beberapa jenis kucing lainnya. Sementara itu, pada masyarakat Sunda, kucing juga lekat dengan folklore Nini Anteh (Rostiyati, 2020) dan untuk masyarakat Pelem, kucing menyimpan memori kolektif mereka tentang nenek moyang, kemarau panjang, dan hujan.
Konflik dengan MUI
Meskipun namanya Manten Kucing, sebenarnya pada pelaksanaan ritual ini hanyalah memandikan sepasang kucing di Coban Kromo. Kucing yang dipilih pun harus berasal dari Dusun Bangak dan Sumberejo sebagai dusun paling timur dan barat Desa Pelem sebagai simbol keterlibatan seluruh Desa Pelem dalam ritual.
Setelah kucing terpilih, ritual dimulai dengan arak-arakan. Titik pemberangkatan arak-arakan ini ialah Kantor Kepala Desa Pelem menuju Coban Kromo. Semua warga ikut serta dalam arak-arakan. Kesenian khas Tulungagung juga sering kali ikut dimasukkan di dalamnya. Sesampainya di lokasi pemandian, hanya kepala desa atau keturunan Demang Sutomedjo yang boleh memandikan kucing tersebut. Hal ini bisa dikatakan merupakan wujud rasa hormat masyarakat kepada leluhur mereka. Setelah itu, ritual dilanjutkan dengan selametan di sekitar Coban Kromo dan ditutup dengan Tiban.
Pada masa kepemimpinan Lurah Agus, ritual ini mendapatkan atensi dari pemerintah. Pada beberapa festival kebudayaan, ritual ini ditampilkan sebagai representasi kebudayaan Tulungagung. Puncaknya, pada 2004, ritual ini dipilih sebagai perwakilan Jawa Timur untuk tampil di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Tidak sampai di situ, ritual Manten Kucing juga sempat dimasukkan buku PLH (Pendidikan Lingkungan Hidup) Sekolah Dasar.
Akan tetapi, pada 2010, antiklimaks terjadi. Saat itu, untuk memeriahkan Hari Jadi Kabupaten Tulungagung, ritual ini difestivalkan dan diikuti setiap kecamatan yang ada di Tulungagung. Semua stakeholder pemerintah kabupaten hadir di pendopo, termasuk MUI. Saat itu, salah satu peserta memasukkan unsur agama Islam dalam pelaksanaan festival. Mereka memperagakan tata cara Islam dan memasukkan Shalawat Hadrah ketika melaksanakan Manten Kucing. Tak pelak, hal ini menyulut protes MUI Tulungagung yang menganggapnya sebagai pelecehan kepada agama. Dilansir Republika.co.id (26/11/2010) akibat kejadian tersebut, bupati saat itu, Heru Tjahjono, meminta maaf dan berjanji untuk tidak melaksanakan ritual Manten Kucing lagi. Alhasil, sejak saat itu, ritual ini dilarang tampil di ruang publik, dan harus kembali ke habitat awalnya di Desa Pelem.
Saat ini, selain dampak dari pelarangan tersebut, ritual Manten Kucing juga menghadapi persoalan lain. Perubahan komoditas pertanian dari padi ke tembakau, yang notabene tidak begitu membutuhkan air, juga menjadi salah satu faktor penghalang yang menghambat pelaksanaan ritual. Masyarakat pendukung ritual harus bernegosiasi dengan petani lain, untuk memastikan agar hujan tidak mengganggu tanaman tembakau mereka.
Selain itu, kemajuan teknologi juga memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan air tanpa harus menunggu hujan. Kekurangan air dari sistem sawah tadah hujan yang kerap melanda Desa Pelem saat ini sudah bisa teratasi dengan mesin disel atau pompa air. Hal ini tentu saja membuat ritual menjadi kehilangan fungsi praktisnya.
Meskipun pada 2018 ritual ini telah dinyatakan sebagai Warisan Budaya tak Benda, di tengah kepungan faktor internal dan eksternal tersebut, eksistensi Manten Kucing sangat bergantung pada masyarakat pendukungnya yang sayangnya tidak memiliki sistem pengelolaan dan pewarisan yang baik. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved