Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
MUSEUM Macan memamerkan karya-karya seni media baru yang menjadi pemenang dalam ajang VH Award ke-4. VH Award merupakan ajang penghargaan seni rupa media baru yang digagas Hyundai pertama kali pada 2016.
Penyelenggaraan ke-4 ini merupakan pertama kalinya VH Award berekspansi ke luar Korea Selatan dan membuka pendaftaran bagi para seniman di wilayah Asia. Pemenang VH Award ke-4 dan mendapat penghargaan grand prix adalah Lawrence Lek dengan karyanya bertajuk Black Cloud (Awan Hitam). Seniman berdarah Malaysia yang berbasis di London, Inggris, ini menggabungkan gim video dan kecerdasan buatan (AI) dengan bentuk seni pertunjukkan nyata.
Sementara itu, seniman Indonesia Syaura Qotrunadha menjadi satu dari empat finalis ajang ini. Karyanya berjudul Ketidakstabilan Mesin Masa Depan (Fluidity of Future Machine).
Finalis VH Award ke-4 lainnya adalah Paribartana Mohanty dari India dengan karya berjudul Rice Hunger Sorrow, Jungwon Seo dengan karya berjudul We Maketh God, dan Doreen Chan dengan karya HalfDream. Karya-karya ini dipamerkan di Museum Macan pada 10 September hingga 13 November.
Syaura, yang dalam karyanya memasukkan unsur teks berbahasa Indonesia dengan sisipan berbagai bahasa asing yang sudah diserap ke bahasa Indonesia, mengatakan karyanya yang menjadi finalis VH Award ini merupakan trilogi dari dua karya sebelumnya. Ia menghabiskan waktu selama kurun enam bulan untuk penggarapan karya terakhirnya itu.
“Di karya ini saya lebih personal. Sementara di dwilogi karya sebelumnya saya lebih berbicara agak politis dan spesifik menuju satu periode tertentu, misalnya ketika membicarakan Dialita (kelompok paduan suara perempuan yang keluarga mereka pernah menjadi tapol semasa Orba). Sementara di karya ini saya membicarakan spesifik periode tertentu tapi masih relevan sampai sekarang,” kata Syaura seusai konferensi pers di Museum Macan, Jakarta Barat, Kamis, (8/9).
Syaura memanfaatkan kolase video yang mengeksplorasi hubungan antara air dan migrasi makhluk hidup. Karya ini berspekulasi tentang masa depan alam manusia. Visual karya videonya menghadirkan pengalaman seakan tengah melihat melalui sebuah mikroskop, menunjukkan wawasan para pendahulu dapat membantu melihat apa yang tak kasat mata, namun sebenarnya berada tepat di depan kita.
Selipan teks kata serapan yang ditampilkan dari bahasa aslinya juga selalu menjadi penghubung dari karya terakhirnya ini dengan dua karya sebelumnya. “Ya ini juga bisa merepresentasikan bahwa dari bahasa yang digunakan kita sekarang, menunjukkan migrasi itu terjadi dan tidak ada ras murni.”
Lewat karya ini Syaura juga mengajak orang untuk beranjak dari pola pikir terkotak-kotak. “Saya merasa sampai sekarang kita sesama orang Indonesia masih terlalu mengkotak-kotakkan. Mungkin itu bagian dari survivalnya orang. Tapi mestinya mencari tahu juga kenapa pola pikir itu terbentuk sampai sekarang. Lewat karya saya ini, saya ingin orang lebih berusaha melihat sesuatu dari sisi tengah. Dilihat dulu apa apa saja, baru memutuskan sesuatu,” pungkasnya. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved