Headline
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.
ADA beberapa ragam dialek dalam bahasa Mentawai di Sumatra Barat. Dialek Sikakap-Sipora (dua dari empat pulau besar – pulau lainnya Siberut dan Pagai – yang membentuk Kepulauan Mentawai). Menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta (1998), dialek ini paling banyak digunakan, sebagaimana kosakata dan istilah di Kamus Besar Bahasa Indonesia – Mentawai.
Pasilabok gou’gou’ – saina’ adalah acara membakar ayam dan babi dalam dialek Rereiket, komunitas adat Mentawai (mencakup Desa Madibag dan Desa Matotonan di Siberut Selatan) yang menghuni kawasan aliran Sungai Rereiket. Dalam dialek Sikakap-Sipora, pasilabok (berakar kata labok, berarti bakar) diucap masilabok, sedangkan saina’ disebut sakkoilo. Untuk gou’gou sama ucapannya.
Dalam rangka HUT ke-42 sekaligus HUT ke-77 RI, Desa Matotonan menggelar Seminar Nasional dan Festival Lia Eeruk, yang antara lain menghadirkan 7 pembicara/akademisi/pakar budaya Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), Badan Pelestari Nilai Budaya (BPNB) dan BRIN dari Jakarta, Kendari, Padang, serta warga asli Mentawai.
Kades Matotonan Ali Umran Saburel mengatakan seminar sehari dan pesta desa (Lia/Liat Eeruk atau dialek Rereiket juga menyebutnya sebagai Liat Pulaggajat) selama kurang lebih seminggu pada pertengahan Agustus lalu, dimaksudkan juga untuk menjadikan Matotonan sebagai desa wisata adat, alam, keberagaman keyakinan keagamaan, pendidikan tradisional lokal dengan adat istiadat yang masih kental.
Untuk itu, para tamu (banyak wisatawan Eropa) diperkenalkan ragam tradisi kampung lewat pergelaran-pergelaran budaya rumah adat Uma Matotonan, di balai desa. Bahkan, juga dipertontonkan tradisi hari-hari masyarakak seperti pasoat (menumbak), ikut turu’ (menari ragam tarian adat), berladang atau ikut para sikerei (tabib) mencari dedaunan dan tumbuhan di hutan untuk mengobati seseorang yang sakit.
Pesta desa ini melibatkan segenap warga, baik keluarga Islam, Kristen, maupun yang masih bertahan pada adat dan tradisi sabulungan sebagaimana dianut para sikerei. Di antara ragam budaya yang itu pada Senin (8/8) digelar aktivitas barbeku khas Mentawai, yakni pasilabok gou’gou’ – saina’.
Pasilabok adalah dialek Rereiket untuk menyebut aktivitas bakar-membakar atau memanggang daging. Dalam dialek Sikakap-Sipora disebut masilabok. Akar katanya sama, yakni labok yang berarti bakar. Gou’gou ialah sebutan umum untuk ayam, sedangkan kata saina’ ialah dialek Rereiket untuk menyebut babi. Sementara itu, dialek Sikakap-Sipora menyebut babi sebagai sakkoilo.
Jadi pasilabok gou’gou’ – saina’ berarti membakar ayam dan babi, aktivitas harian yang umum dilakukan di banyak rumah warga Desa Matotonan. Bisa jadi karena dianggap merupakan hal biasa, maka panitia Seminar Nasional dan Festival Liat Eeruk/Liat Pulaggajat tidak mencantumkan pasilabok gou’gou’ – saina’ di lembar kertas acara yang dibagikan, atau terlupa? Entahlah.
Ayam hutan Kepulauan Mentawai, Pulau Siberut khususnya, sudah lama dibudidayakan warga Matotonan sebagai hewan ternak. Uniknya, ayam tak dipelihara di halaman rumah, tetapi dibuatkan kandang kukuh di kebun atau di pinggir hutan, yang pintunya dibuka pemiliknya tiap pagi dan dan ditutup lagi bila hari sudah sore. Ayam (atau telurnya) baru diambil bila diperlukan.
Babi masih banyak di perbukitan dan hutan sagu di sekitar Desa Matotonan. Warga biasa berburu babi (dengan jerat ataupun tombak) di hari tertentu, untuk keperluan pesta atau sumber protein keluarga. Ada babi hasil buruan yang lantas dipelihara dan beranak-pinak dalam kerangkeng dari jalinan batang-batang bambu.
Hewan adat
Dalam tradisi Mentawai, saina’ dan gou’gou’ tak cuma merupakan sumber protein daging merah dan daging putih, tapi juga telah sejak lama menjadi hewan adat yang punya nilai-tukar tinggi. Dalam acara minang-meminang jodoh, misalnya, babi dan ayam masuk bagian dari maskawin yang layak diberikan pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan, juga sebagai ucap terima kasih pada sikerei yang sudah menyembuhkan anggota keluarga kita yang sakit.
Aktivitas bakar ayam dan babi nyaris selalu ada di pesta-pesta adat di kampung- kampung di Mentawai. Juga pagi itu, saat pesta digelar di Uma Matotonan (rumah adat di ketinggan bukit, hingga siap apun hadiri harus naik turun lewat tangga dari batang pohon yang lumayan licin dan terjal). Di belakang samping Uma Matotonan sengaja dibuat kerangkeng bambu dengan beberapa belas ekor babi di dalamnya.
Tiga ekor saina’ ditangkap dan dikeluarkan dari dalam kerangkeng dengan menggunakan jerat khusus dari batang manau (rotan) manjang. Sementara itu, belasan ekor gou’gou’ yang dibawa dan disembahkan warga untuk acara ini, sudah siap di keranjang-keranjang bambu yang bersusun rapi di kolong Uma Matotonan yang berstruktur rumah panggung yang terbuat dari kayu, bambu, dan atap sagu.
Ragam upacara adat berlangsung semarak di ruang dalam Uma Matotonan. Ibarat teater tanpa penonton, karena melibatkan langsung tak cuma para sikere suami-istri dan para undangan, tapi juga warga dan siapa pun yang hadir. Sementara itu, di samping dan belakang rumah, belasan laki-laki diam-diam melaksanakan tugas, membakar dan mengolah daging ayam dan babi untuk disantap hadirin.
Yang menarik, baik gou’gou’ maupun saina’ yang hendak dimasak, dalam prosesnya menjadi daging merah-putih mentah, nyaris tak setetes pun darah tumpah pecuma. Darah saina’ atau babi misalnya, langsung ditampung di penggorengan besar. Ke penggorengan itu pula dimasukkan semua jeroan, setelah dibersihkan dan dipotong kecil-kecil, sebelum selanjutnya diolah.
Untuk gou’gou atau ayam, tradisinya tidak disembelih, tetapi tubuh ayam dikempit dan dipegangi pangkal lehernya, lalu kepalanya ditarik dan lehernya ditekuk. Cara ini membuat tak setetes pun darah tumpah, dan konon daging ayam jadi lebih manis. Namun, cara ini kini tak lagi dlakukan. Dalam kesempatan itu, semua ayam dipotong dengan mengucap bismillah dan darahnya dibuang, tak ikut dimasak.
Ayam dan babi diproses di tempat berbeda dan saling berjauhan. Hewan-hewan yang sudah disembelih itu ditusuk dengan bilah bambu atau batang kayu hingga berada diposisi tengah. Dengan cara diputar-putar sebagaimana memanggang daging pada umumnya, ayam dan babi yang sudah tanpa jeroan itu sama dibakar di lokasi berbeda, hingga semua bulunya hangus terbakar.
Menggunakan bilah parang, sisa-sisa bulu yang hangus lalu dikerok hingga tampak kulit luar pembungkus daging. Karkas daging lantas dicuci bersih. Kuku-kuku kaki dan taring dilepas menggunakan capit, Dengan alas tikar dari entepan daun pisang, karkas daging direncah kecil-kecil. Tulang dan bagian lain yang keras berurat dipisah, dipilah di wadah masing-masing sesuai bagian dan jenisnya.
Di rerumput pinggir halaman Uma Matotonan juga dibangun dua buah bedeng beratap daun sagu, yang satu sama lain berjauhan, tapi sama berfungsi sebagai dapur. Di lantai bawah masing-masin dapur dibuat tungku berkaki tiga dari potongan kayu pohon kelapa. Di atas masing-masing tungku dapur diletakkan penggorengan besar, mirip penggorengan mengolahan Dodol Betawi.
Untuk energi panas saat memasak, digunakan kraras dan kayu-kayu lapuk sisa gigitan rayap. Sebelumnya perlatan ini sudah dijemur kering dan ditumpuk di salah satu sudut kolong Uma Matotonan. Banyak cara memasak daging sebagai lauk-pauk dan hidangan. Di pasilabok gou’gou’ – saina’ ini, teknisnya sederhana. Daging (berikut potongan tulang dan bagian lainnya) cuma ditaburi garam. Lemak dalam daging dan sumsum di tulang langsung leleh dan cair terkena panas, hingga seperti merendam daging. Kearifan tradisional yang jempolan, memasak daging tanpa minyak dan air.
Proses masak-memasak ini tak lepas dari pantauan sikerei yang memang ditugaskan pemangku adat untuk pengawasan lapangan. Tak kalah menarik, urusan dapur ini sama sekali tidak melibatkan perempuan. Semua rangkaian kerja seutuhnya dilakukan para pria, sedangkan para mama dan nona (termasuk perempuan sikerei) ikut pergelaran seni tradisi di ruang dalam Uma Matotonan.
Kaum perempuan baru ambil bagian saat yang dimasak sudah matang, upacara usai, dan daging sudah dipilah-pilah serta ditempatkan dalam wadah pelepah pisang, berjajar di atas rak bambu. Tiap keluarga serta tamu yang hadir pada acara itu boleh ambil cuma satu pincuk. Silakan pilih, daging gau’gou’ atau saina’? Demokratis.
Umumnya daging tak dinikmati di lokasi acara. Para mama biasanya menempatkan jatah daging matang untuk keluarganya itu ke dalam bumbung bambu, dimasukkan ke keranjang punggung dari anyaman rotan (manau), lalu dibawa pulang ke rumah untuk dijadikan bahan satai panggang ataupun lauk-pauk berkuah lainnya, untuk dinikmati keluarga. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved